“Ka pai kama, nak?” (Mau pergi kemana, nak?) ujar sang nenek. “Kami mau ke Tanjaro, nek”, jawabku. “Salah jalan anak, turun lah anak baliak beko belok ke suok dakek batang durian tu manyubarang batang aia”,(salah jalan anak, balik anak ke bawah terus belok ke kanan dekat batang durian lalu menyeberang sungai), kata si nenek sembari tetap memetik pucuk pakis. “Tarimokasih, amak” ucap kami berbarengan.
Sabtu pagi itu seperti pagi lainnya yang selalu ku awali degan secangkir kopi sembari membaca berita dan menonton televisi di warung langganan. Entah racun apa yang membuatku berpikir untuk kembali berpetualang setelah sekitar lebih 5 bulan beristirahat hingga yang ada di otak ini hanya mencari destinasi wisata baru nan masih cenderung perawan di seputaran Luak Nan Bungsu. Setelah beberapa postingan di twitter, aku disarankan untuk menjamah Air Terjun Tanjaro oleh seorang admin twitter @dilimapuluhkota.
Sebuah telfon singkat dengan seorang teman yang telah menjajaki lokasi, aku pun mulai paham akan situasi yang akan ku hadapi. Aku harus segera mencari rekan seperjalanan. Beberapa teman telah ku coba hubungi untuk ikut serta, namun tiada balasan. Tidak berapa lama setelah posting “#Cari_Kawan menuju Air Terjun Tanjaro” di BBM seorang teman yang tertarik. Stefina, rekan seperjanan ku saat ini menyatakan siap untuk ikut.
Jam 11.00WIB, seperti yang dijanjikan ku menuju rumah Stefina untuk menjemput dia dan sepupunya Rani. Setelah menunggu para wanita ini berbenah sekitar setengah jam, perjalanan pun dimulai. Kami berkendara menuju Simpang Kapuak di Kenagarian Mungka Kab. 50Kota, jalur yang sama jika kita mau ke Air Terjun Lubuak Bulan. Kami sampai di sebuah mushala tempat terakhir yang bisa ditempuh dengan kendaraan jam 12.30WIB, saatnya shalat Dzuhur.
Setelah shalat, kami pun siap untuk memulai menapakkan kaki mengayunkan langkah menyibak misteri air terjun yang masih belum begitu dikenal masyarakat luas. Beberapa menit berjalan, di hadapan kami terbentang sebuah sungai yang amat jernih dan siap untuk diseberangi. Penuh harap kami menyeberang dan menyusuri tepian sungai hingga menemukan jalan setapak yang menanjak menuju sebuah pondok kayu tua. Sampai di pondok tua itu jalanan pun habis.
Buntu. Jalanan yang tampak hanya semak belukar yang sepertinya telah lama tidak dilewati. Tidak ingin panik, kami berusaha tenang dan beristirahat sejenak sembari mereguk air minum. Pilihan yang ada hanya dua, kembali ke jalur awal atau turun di tebing yang lumayan terjal dan menyeberangi sungai. Cemas? Siapa yang tidak cemas berhadapan dengan situasi seperti ini, tapi kami tetap berfikir positif.
Tak lama kami berdiam diri, terdengar sayup-sayup suara wanita tua. Ku palingkan wajah ke belakang ke arah rimbunnya tumbuhan pakis tempat suara itu berasal. “Ka pai kama, nak?” (Mau pergi kemana, nak?) ujar sang nenek. “Kami mau ke Tanjaro, nek”, jawabku. “Salah jalan anak, turun lah anak baliak beko belok ke suok dakek batang durian tu manyubarang batang aia”,(salah jalan anak, balik anak ke bawah terus belok ke kanan dekat batang durian lalu menyeberang sungai), kata si nenek sembari tetap memetik pucuk pakis. “Tarimokasih, amak” ucap kami berbarengan.
Dan perjalanan yang sempat terhenti pun kami mulai kembali mengikuti arahan si Nenek. Sampai di penyeberangan sungai kami tidak sanggup menahan keinginan untuk berphoto karena air yang amat jernih dan lingkungan yang sangat alami. Saat aku akan diphoto oleh Stefina, Nenek yang tadinya ingin ikut menyeberang ku ajak berphoto. Dan, cheers… Dengan sedikit memohon akhirnya ku berhasil berphoto dengan si Nenek.
Kembali menyusuri jalan setapak di sisi sungai, kami semakin bersemangat saat mendengar deru air yang kian deras. Kami hampir sampai. Setelah menyeberang sungai sekali lagi, kami sampai. Di hadapan kami terbentang air terjun yang amat alami dihiasi beberapa batu besar. Stefina dan Rani langsung turun menikmati segarnya air terjun Tanjaro sementara aku menyibukkan diri dengan kamera memotret beberapa kali sebelum akhirnya ku ikut turun ke air.
Air Terjun Tanjaro yang bertingkat-tingkat di bingkai oleh bebatuan dan pepohonan membuat lingkungan ini amat sejuk dan lembab. Dari atas bebatuan ku lanjutkan memotret Stefina dan Rani untuk kenang-kenangan mereka yang telah ikut perjalanan ini. Berberapa frame telah terekam di kamera sampai akhirnya aku pun tak kuasa menahan keinginan untuk diphoto. Mulai berpose namun tetap canggung, mungkin karena aku memang jarang diphoto.
Jam telah menunjukkan pukul 14.20WIB dan langit mulai mendung. Suasana air terjun yang berada di dalam lembah mulai gelap dan kami pun memutuskan untuk mulai berkemas. Perjalanan keluar dari pelukan lembah air terjun ini memang tidak terlalu sulit namun tidak akan mudah ditempuh dalam kondisi hujan, membuat kami sedikit bergegas. Dalam perjalanan keluar itu kami kembali berjumpa dengan Nenek dan kembali mengucapkan terimakasih karena telah menunjukkan jalan. Setelah 20menit berjalan kami sampai di rumah penduduk tempat kami menitipkan kendaraan.
Air Terjun Tanjaro, meski tak setinggi Harau, tak sesulit menuju Lubuak Bulan, keindahanmu sanggup menyaingi kedua saudarimu itu. Semoga kebersihan alamnya tetap terjaga, karena semua bungkus makanan dan minuman yang kami bawa dari luar tak akan kami tinggalkan di lembahmu.
Penulis: Dika Pitopang
mobile : +6285263215393
twitter : @d_pitopang
instagram : @dika_pitopang
official instagram : @creative_5tudio
email : dika.death@gmail.com