Categories Berita Sudut

Jejak Sunyi Surau Tarekat di Koto Malintang, Sariak Laweh: Kini Tinggal Puing-Puing Reruntuhan

Di Jorong Koto Malintang, Nagari Sariak Laweh, Kecamatan Akabiluru, Kabupaten Lima Puluh Kota, dahulu bermukim seorang ulama kharismatik, guru Tarekat Sammaniyah wa Naqsyabandiyah. Ia dikenal dengan nama Buya Pokiah Mudo, salah seorang khalifah dari ulama besar Syekh Mukhtar Angku Tanjuang Belubus.

Surau peninggalannya berdiri di kaki bukit Koto Malintang, sunyi di tengah persawahan. Untuk sampai ke sana, orang mesti lebih dahulu menyeberangi sawah yang membentang. Tempat itu pernah menjadi pusat suluk, tempat khalwat dan dzikir. Dalam satu wawancara bersama Dalmi, putra kedua Buya Pokiah Mudo, ia mengenang: “Iyo banyak urang nan basuluak di situ, ado dari Suayan, Taratak, Pauh Sangik, Sungai Balantiak, hinggo Koto Nan Ampek,” tutur Dalmi sambil menekankan betapa ramainya surau itu di masa lalu.

Syekh Mukhtar Angku Tanjuang, guru Buya Pokiah Mudo, adalah ulama besar Tarekat Naqsyabandiyah wa Sammaniyah di Belubus, Kabupaten Lima Puluh Kota. Beliau merupakan keponakan Maulana Syekh Mudo Abdul Qadim sekaligus murid langsungnya, yang kemudian melanjutkan kepemimpinan tarekat di Belubus setelah wafatnya sang guru pada 1957. Dari tangan beliau lahir murid-murid berpengaruh, seperti almarhum Syekh Khatib Ilyas Titian Dalam Suliki yang wafat beberapa waktu lalu pada usia 101 tahun, juga Syekh Angku Tobek di Koto Panjang, serta Buya Pokiah Mudo di Koto Malintang.

Dalam kenangan Dalmi, surau itu tak lagi sama setelah kepergian sang ayah. “Abak maningga tahun 2010, semenjak paninggaan abak surau tu lah tingga, tu sampai cando kini surau alah roboh, baliau maningga dalam umua 85 tahun dan kini Indak ado lai nan manaruihan,” ujarnya lirih pada Selasa (23/9/25) di kediamannya di Koto Malintang.

Kini surau itu hanya tinggal puing. Tidak lagi terdengar wirid, dzikir, atau langkah orang-orang bersuluk. Padahal dua hingga tiga dekade silam, bangunan itu adalah saksi perkembangan ilmu tarekat di Koto Malintang. Yang tersisa kini hanyalah sunyi, dinding-dinding roboh yang menyimpan kenangan. Surau itu menambah catatan panjang kisah tentang surau-surau tarekat yang perlahan ditinggalkan, terabaikan, lalu menyerah kepada waktu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *