Di Mungka, tanah yang subur oleh cahaya ilmu, memang dikenal lahir banyak ulama besar. Di antaranya terdapat nama-nama agung seperti Syaikhul Masyaikh Ulama Minangkabau, Syekh Sa’ad Al-Khalidi “Baliau Surau Baru”, Syekh Abdul Aziz “Baliau Simpang Kapuak”, Syekh Abu Bakar Tobiang Pulai, dan deretan nama besar lainnya.
Namun, di balik semua nama itu, berdiri seorang mua’mmar (ulama yang diberi karunia umur panjang) yakni Syekh Haji Loedin Tolang. Menurut riwayat, beliau wafat pada tahun 1982 dalam usia lebih dari satu abad, tepatnya 125 tahun.Usia panjang semacam itu bukanlah hal asing di pedalaman Luhak Limo Puluah. Surau-surau yang sunyi di pelosok seringkali dipenuhi jama’ah yang diberi panjang umur, seakan menjadi saksi betapa berkah ilmu dan ibadah terjaga di tanah ini.
Syekh H. Loedin adalah ulama besar Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah. Surau nya berada di Tolang, negeri paling ujung dari wilayah Mungka. Menurut catatan, beliau berada di Mekkah pada masa yang bersamaan dengan ulama-ulama besar awal abad ke-20. Nama-nama seperti Syekh Abdurrahman Al-Khalidi Kumango, sang penyebar Tarekat Samman sekaligus pencipta Silek Kumango yang masyhur dari Tanah Datar itu, serta Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandih, guru dari Syekh Mudo Abdul Qadim Belubus, menjadi sahabat sezaman beliau.
Dalam penuturan Apria Putra di sebuah tulisannya, ia mengaku beruntung karena saat meneliti arsip-arsip peninggalan Syekh Loedin, tanpa sengaja ia juga menemukan sebuah naskah langka, yakni kitab Sifat Dua Puluh tulisan tangan Syekh Abdurrahman Al-Khalidi Kumango, dan tentu ini menjadi penemuan yang langka bagi seorang filolog.
Di samping itu, bila ada persoalan menyangkut Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, maka Syekh H. Loedin-lah tempat bertanya. Pengajarannya begitu lembut, seakan memperlihatkan kejernihan hakikat dari Naqsyun dan Bandun yang menjadi inti ajaran itu.Hingga kini, peninggalan Syekh Haji Loedin yang masih dapat disaksikan dari ahli warisnya adalah sorban khas Yaman yang pernah beliau beli di Mekkah. Kopiah yang sama juga pernah menjadi penanda kewibawaan ulama lain, seperti Maulana Syekh Sulaiman Ar-Rasuli “Nyiak Canduang”, Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh, hingga Syekh Machudum Solok.
Dalam wawancara Sudutpayakumbuh.com dengan pihak keluarga Syekh Loedin, yaitu Ibu Yunismar Syarif, mengatakan, “Atuak pernah memiliki keresahan pada kisaran tahun 1950-an banyak anak muda waktu itu di Mungka yang tak bisa baca Al-Qur’an, hingga tumbuh pemikiran bahwa kalau negeri ini seperti ini terus tentu pastilah bakal karam. Berjalan kaki lah Atuak itu mencari guru dan menghimpun suatu gerakan yang dinamai PMK, hingga ramai surau waktu itu, dan itu akan menjadi sejarah yang tak akan terlupakan,” ucapnya.
Masih menurut Ibu Yunismar, surau itu berhenti beroperasi sejak 1980. “Surau sudah berhenti sejak tahun 1980. Kalau suluk dulu sangat ramai sekali, sampai daerah Simpang Kapuak juga ke sini, Padang Laweh, Sungai Antuan, Koto Tingga. Umumnya hampir seluruh penjuru Mungka berbondong-bondong kemari,” pungkasnya saat ditemui di kediamannya pada sore Jum’at (27/9/25).
Dari pengamatan Sudutpayakumbuh.com, kini surau peninggalan Syekh Loedin sudah tidak tampak lagi. Yang tersisa hanyalah bekas fondasi surau, bahkan lebih memilukan, keadaan makamnya kini ditutupi semak belukar.
