Menurut Mahmud Yunus, jumlah Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) yang berdiri di Sumatra Barat dan luar Sumatra Barat mencapai lebih kurang 300 lembaga. Madrasah itu terbagi atas berbagai tingkatan: Awaliyah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, hingga Kulliyah Syar’iyah, dengan bagian putra dan putri yang masing-masing berjalan seiring kebutuhan zaman.
Dari ratusan madrasah tersebut, empat di antaranya tercatat sebagai yang awal dan tertua: Madrasah Tarbiyah Islamiyah Canduang, MTI Tabek Gadang, MTI Jaho, dan MTI Batu Hampar (Mahmud Yunus, 1979: 98). Khusus di Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kota Payakumbuh, nama MTI Tabek Gadang menempati posisi istimewa dikenal sebagai pondok pesantren tertua yang masih bertahan hingga kini.
Pada awal berdirinya, jauh sebelum lahir perkumpulan Tarbiyah Islamiyah, keempat madrasah itu sejatinya berakar dari surau. Nama-namanya pun lekat dengan pendiri masing-masing. Demikian pula MTI Tabek Gadang yang berdiri di Jorong Padang Japang, Nagari VII Koto Talago, Kecamatan Guguak, Kabupaten Lima Puluh Kota, surau yang tumbuh menjadi madrasah besar.
Lembaga pendidikan ini lahir dari tangan Syekh Abdul Wahid Ash-Shalihi, seorang ulama yang lahir pada tahun 1878 dan wafat pada 1952, beliau adalah ulama pengembara yang menimba ilmu dari banyak guru di penjuru Minangkabau. Sepulangnya ke kampung halaman, dorongan untuk mengembangkan pengetahuan tak terbendung. Tahun 1906, bertepatan dengan 1324 Hijriah, ia mendirikan sebuah surau yang kelak menjadi tunas bagi sekolahnya hari ini, ia membangunnya di tanah pusaka kaum, tak jauh dari sebuah kolam besar. Masyarakat menyebutnya Tobek Godang begitu kiranya bahasa mudiak orang-orang, atau Tabek Gadang yang lebih agak ke kota. Dari situlah surau Abdul Wahid masyhur dengan sebutan Surau Tabek Gadang.
Kabar berdirinya pusat pengajian agama baru di Padang Japang itu cepat menyebar, dari mulut ke mulut, dari satu pengajian ke pengajian lain yang dibawakan Syekh Abdul Wahid. Murid-murid berdatangan dari berbagai penjuru Minangkabau, bahkan dari luar daerah. Pola pembelajaran saat itu sederhana: halaqah, dengan Syekh Abdul Wahid sendiri sebagai pengajar utama.
Seiring waktu, surau itu menempuh jalan panjang sejarah bangsa. Dari masa kolonial Belanda, pendudukan Jepang, agresi militer, hingga fase Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Setiap pergantian rezim melahirkan dinamika baru, yang memaksa lembaga ini beradaptasi agar tetap hidup.
Buya Fachrur Razi, salah satu guru senior MTI Tabek Gadang, menuturkan kenangan itu dengan nada lirih kepada Sudutpayakumbuh.com. Ditemui di kediamannya pada Senin, 29 September 2025, ia berkata: “Mulanya sekolah atau pesantren itu adalah surau, yang pakai metode halaqah, dan di surau itu orang bersuluk dahulunya.”
Pria berusia 78 tahun itu sudah mengajar selama 33 tahun di madrasah ini. Kini ia fokus pada pengajaran takhasus. Meski usia renta mulai menekan tubuhnya, kesetiaannya tak pudar. Ia tetap hadir setiap hari, mendampingi murid-murid yang datang menimba ilmu di MTI Tabek Gadang sebuah lembaga yang telah lebih dari seabad mengisi ruang sejarah pendidikan Islam di Sumatra Barat dan Indonesia.
Syekh Abdul Wahid adalah tokoh besar PERTI. Bila PERTI disebut, maka tiga ulama besar sangat patut di khabarkan, (1) Syekh Sulaiman Arrasuli Canduang, (2) Syekh Abdul Wahid Ash-Shalihi Tabek Gadang, dan (3) Syekh Muhammad Jamil Jaho. Mereka adalah fuhul ulama tua Minangkabau awal abad 20, dan mereka adalah Ahli Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah.