Di Antara Kesederhanaan dan Cahaya Ilmu: Menemui Buya Malin Mangkuto di Koto Nan Gadang

Pada suatu sore yang tenang di Koto Nan Gadang, sudutpayakumbuh.com berkesempatan bersua dengan sosok yang sarat keteduhan: Buya Angku Malin Mangkuto, seorang ulama berusia 70 tahun-an yang wajahnya memantulkan kelembutan dan kerendahan hati. Dari caranya berbicara, dari langkahnya yang pelan namun pasti, tersirat satu hal: hidup baginya bukan tentang kemewahan, melainkan kesahajaan yang penuh makna.

Buya Malin Mangkuto dikenal sebagai murid dari dua tokoh besar tarekat di Ranah Minang, Syekh Nurullah Dt. Anso dan Syekh Dt. Patieh Gurun. Dari Syekh Nurullah, ia menimba ilmu dan menempuh suluk dalam Tarekat Naqsyabandiyah di Tanjung Pati. Sementara dari Syekh Dt. Patieh Gurun, ia mengambil Tarekat Sammaniyah yang kemudian menjadi bagian dari perjalanan spiritualnya. Tak hanya itu, pada masa mudanya, Buya juga sempat membantu Buya Annas Malik, putra dari Syekh H. Abdul Malik dalam berbagai kegiatan suluk di Surau Balubuih, tempat yang menjadi saksi lahirnya banyak ulama besar Sumatra Barat.

Kehidupan Buya hari ini jauh dari gemerlap. Ia menjadi imam di sebuah masjid yang letaknya cukup jauh dari rumahnya. Setiap hari ia menempuh jarak itu dengan sepeda tuanya, tanpa keluh, tanpa pamrih. Dalam kesederhanaan itu, tersimpan keteguhan seorang alim yang tak terikat oleh simbol duniawi. “saya pergi ke mana pun hanya dengan sepeda,” ujar beliau.

Dalam perbincangan yang hangat, tawa kecil sering pecah di sela percakapan. Namun arah bicara kami perlahan mengalir ke topik yang lebih serius: bid’ah. Buya menuturkan kegelisahannya tentang semakin jarangnya masyarakat membaca Yasin, Shalawat Tafrijiyah, atau Sifat Dua Puluh di kawasan tempat tinggalnya. “Sekarang sudah jarang, nak,” ujarnya pelan, dengan nada yang lebih seperti doa daripada keluhan.

Salah satu kisah yang paling berkesan dari Buya adalah tentang Maulana Syekh Mudo Abdul Qadim. Ia berkisah bagaimana Syekh Mudo, yang sudah dikenal sebagai ulama besar, tetap datang kepada Syekh Abu Bakar Taeh Bukik untuk berguru. Namun, Syekh Abu Bakar menolak dengan alasan bahwa ilmu Syekh Mudo telah cukup. Ia heran, mengapa seorang alim besar masih merasa kurang. Di situlah, kata Buya, letak kerendahan hati seorang ulama sejati.

“Semoga guru-guru kita, ulama-ulama kita yang masih hidup, dimudahkan urusannya oleh Allah dan dipanjangkan umurnya,” ujar Buya menutup perbincangan. Suaranya lembut, tapi terasa dalam seperti doa yang mengalun dari surau lama di senja hari.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *