Nagari Lubuak Batingkok, Kecamatan Harau, komunitas Teater Sambilan Ruang berada, awalnya, kelompok ini hanyalah ruang diskusi kecil di bangku perkuliahan.
Mereka menamainya Kelompok Sandiwara Sambilan Ruang yang lain juga mengenalnya dengan nama Teater Sambilan Ruang. Inisiatif ini mulanya muncul di Padang Panjang dari beberapa penggiat yang haus akan ruang dialog kreatif: Abdul Hanif, Ega Novia Sari, Rahmad Al Akbar, Agita Muliadi, Fauzan Husni Sulaiman, dan Fitri Noveri. “Ketika ada Festival Teater Remaja di Padang tahun 2011, jadi untuk mengikuti festival itu harus dari komunitas, dan ide itu bermula di Padang Panjang,” ucap Fitri Noveri, salah satu pendiri.
Tanggal 11 November 2011 menjadi momentum deklarasi berdirinya Sambilan Ruang. Dari sekadar forum diskusi, mereka berubah menjadi komunitas teater yang ingin “menghidupkan teori-teori teater dalam bentuk artistik pemanggungan yang konkret.” Di luar lingkar akademik, mereka mencoba menawarkan alternatif seni yang tumbuh dari masyarakat, bukan sekadar tontonan kampus.
Kini, rumah mereka berpusat di Nagari Lubuak Batingkok, Harau, dengan sekitar dua puluh pemeran aktif. Di sebuah rumah sederhana yang dindingnya ditempeli logo komunitas, para anggota bergantian berlatih monolog dan memoles dialog. Mereka bukan hanya menyiapkan pertunjukan, tetapi juga menjaga api keyakinan bahwa teater adalah cara lain berbicara tentang kehidupan.
Dalam catatan profil mereka, Sambilan Ruang menegaskan satu hal: seni pertunjukan adalah kesenian yang lahir di tengah masyarakat dan tumbuh bersama masyarakat. Karena itu, mereka memilih bentuk garapan konvensional sebagai estetika utama, agar komunikasi dengan penonton tetap terjaga. Meski begitu, mereka tidak menutup diri dari eksplorasi bentuk-bentuk non-konvensional. Semua dianggap bagian dari “rekreasi estetis”, ruang belajar untuk memperkaya diri dan komunitas.
Pemikiran itu sejalan dengan filosofi nama mereka. Dalam rumah gadang Minangkabau, “sambilan ruang” berarti ruang-ruang yang tak selalu dibatasi dinding. Ruang yang cair, lentur, dan terbuka untuk tafsir. Begitulah Sambilan Ruang memahami panggung: sebagai bagian dari hidup yang terus mencari bentuk ekspresi baru. “Pun begitu, pada akhirnya Sambilan Ruang tetap menjadi salah satu ‘ruang sambilan’ dari sekian banyak ruang dalam kehidupan yang belum sempat kami ekspresikan,” tulis mereka dalam catatan profil.
Soal karya, Fitri menyebut sudah ada beberapa naskah yang lahir dari kelompok ini. “Ada Bayang Kaki Limo, dan Renteng Langsai, hingga Cadiak Patah, dan satu naskah monolog yang berjudul Sebelum Mati, tapi yang berjudul Sebelum Mati ini belum pernah ditampilkan,” ujarnya.
Baru-baru ini, Sambilan Ruan juga menjejakkan kakinya di panggung internasional. “Terbaru di Jakarta, dalam event Djakarta International Theater Platform 2025 yang diikuti dari negara-negara di Asia Tenggara dan ada juga Eropa, kami di sana sembilan hari. Menampilkan satu naskah. Karya kami di kurasi dan terpilih,” kata Fitri, mantan dosen ISBI Aceh itu.
Setelah lebih dari satu dekade, arah komunitas ini pun kian matang. Dede Pramayoza, dramaturg yang ikut membina mereka, mengajak Sambilan Ruang menjajaki kemungkinan baru: panggung yang memiliki artikulasi “Minang pinggiran” sebuah gerundelan yang meminjam istilah mereka, “menguar dari kedai-kedai, ladang-ladang, pasar, dan arena berburu hama.”
Kembali di dalam profil mereka, tertulis pula sebuah catatan reflektif: “Akhirnya tiap pengembaraan pun tak selalu meluputkan langkah dari onak dan duri. Tapi kami, setidaknya dalam ikhtiar dan doa, selalu berbagi pelita, syukur-syukur bisa membantu menjemput datangnya etalase yang mencerahkan, semoga.”
Mengakhiri perbincangan Fitri menutup dengan. “Iya, Insya Allah, kami juga bakal tampil di Malaysia di bulan November yang akan datang,” tutupnya kepada sudutpayakumbuh.com ketika ditemui di kediamannya, Rabu (08/10/2025).
