Buya Mawardi Angku Soba: Penjaga Manaqib Para Syekh

Ada sebuah bait syair dalam kitab Mawahib Rabbil Falaq Syarah Qashidah Bintil Mailiq karya dari ulama asal Simabur, Tanah Datar, yakni Maulana Syekh Isma’il bin Abdullah Al-Khalidi Naqsyabandi Simabur Al-Minangkabawi (terbitan Maktabah Islamiyah, Bukittinggi, tahun 1928). Dimana bait ini yang selalu membuat Banyak orang rindu ulama-ulama silam, membuat air mata tidak tertahan. Gubahannya ialah:

لى سادة من عزهم # أقدامهم فوق الجباه
إن لم أكن منهم فلى # فى حبهم عز و جاه

“Bagiku ada tuan-tuan, Dimana mereka dimuliakan, Tapak kaki mereka di atas segala dahi. Walaupun aku bukan bagian dari mereka, Namun mencintai mereka adalah kemuliaan dan tuah.”

Sore itu, halaman surau di Koto Panjang terasa teduh. Sudutpayakumbuh.com berkesempatan bersilaturahmi dengan sosok sepuh yang sederhana, Buya Mawardi Angku Soba, seorang Buya yang usianya telah melampaui delapan dekade. Nama beliau mungkin tak sering muncul di ruang publik, namun sejarah hidupnya terjalin dengan para ulama besar yang menjadi penopang spiritual Minangkabau.

Buya Mawardi lahir pada 1945. Ia dikenal sebagai murid dari Syekh H. Darnin Khatib Batuah dan juga orang dekat Al-Allamah Syekh H. Mukhtar Tuangku Lakuang, pendiri sekaligus guru besar Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Koto Panjang, sekaligus Mursyid Tarekat Naqsyabandiah Khalidiyah. Di surau itu beliau menyebut nama-nama besar yang pernah membimbingnya. Bahkan sebelum kami sempat duduk sepenuhnya, dari bibir beliau mengalir nama Syekh Mudo Abdul Qadim seolah lidahnya masih akrab dengan kenangan masa lalu yang penuh takzim.

Dalam percakapan itu, Buya Mawardi bercerita tentang Syekh Mukhtar Angku Lakuang, sosok sufi yang dikenal kahsyaf dalam membaca isi hati orang-orang. “Air peluh beliau sangat harum,” ucap Buya Mawardi lirih. “Ketika saya menyuci baju beliau, semerbaknya masih tercium. Itu keberkahan yang tak bisa diukur dengan harta.” Suaranya bergetar, seperti mengingat masa-masa ketika ia muda, selalu berada di sisi sang guru yang hidupnya diisi dengan dzikir tanpa putus.

Buya Mawardi kemudian menuturkan kisah perjalanan mudanya, yang dihabiskan mendatangi para ulama dan orang saleh: Syekh Mukhtar Angku Tanjuang, Syekh Habib Ongku Rancak, Syekh Nurullah Dt. Anso, Syekh Khatib Ilyas (Kotik Liye), Syekh H. Abdul Malik, hingga Syekh Dt. Bandaro Bosa. Dari mereka, ia belajar ilmu, adab, dan ketenangan hati. Tentang Syekh Habib Ongku Rancak, Buya berkata, “Gelar Ongku Rancak itu bukan sekadar nama, tapi cermin perilaku beliau yang benar-benar rancak, baik, lembut, dan tawadhu’. Selain pendekar Silek Kumango, beliau juga sangat halus dalam tutur.”

Menutup perbincangan, Buya Mawardi tersenyum pelan. Matanya memantulkan cahaya lembut sore yang merayap dari jendela kayu. “Semoga Allah panjangkan umur dan sehatkan badan beliau,” batin kami, meninggalkan rumah itu dengan kesan yang sulit dijelaskan, seolah masih tersisa pantulan zikir dari masa yang telah jauh berlalu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *