Di tepian barat Kota Payakumbuh, tak jauh dari jalan utama yang riuh oleh lalu lintas, berdiri sebuah bangunan tua yang anggun sekaligus gagah, Rumah Gadang Balai Nan Duo. Dari kejauhan, bentuk atap runcingnya yang menyerupai tanduk kerbau menjulang menembus udara lembab Minangkabau. Di bawah cahaya matahari yang menembus sela pepohonan, warna kayunya yang tua tampak seperti menyimpan kisah panjang tentang kekuasaan, adat, dan sejarah yang berlapis-lapis.
Rumah gadang bagi masyarakat Minangkabau bukan sekadar tempat berteduh. Ia adalah pusat dari kehidupan adat, tempat segala keputusan besar diambil, sekaligus simbol kebesaran kaum. Di sinilah perempuan memegang kunci utama dalam sistem matrilineal, menjadi penjaga garis keturunan dan pewaris harta pusaka. Namun, kehadiran laki-laki tak terhapus; mereka hadir dalam setiap musyawarah adat, dalam setiap prosesi penganugerahan gelar sako yang menegaskan tatanan sosial dalam kehidupan suku.
Sastrawan Minangkabau, A.A. Navis, pernah menulis tentang beragam tipe rumah gadang di tanah Minang: Sitinjau Lauik di Luhak Tanah Datar, Surambi Papek di Luhak Agam, dan Rajo Babandiang di Luhak Limapuluh Kota. Ia juga menyebut varian lain seperti Garudo Manyusuan Anak dan Gajah Maharam, meski tak menyinggung rumah gadang dari kawasan pesisir yang dikenal sebagai Kajang Padati. Dari sekian banyak bentuk itu, Rumah Gadang Balai Nan Duo menjadi salah satu yang paling menonjol, sebuah warisan arsitektur yang bukan hanya memancarkan keindahan, tapi juga menunjukkan kedudukan tinggi sang pemiliknya.
Menurut catatan, rumah gadang ini berlokasi di Kelurahan Balai Nan Duo Koto Nan IV, Kecamatan Payakumbuh Barat. Letaknya yang strategis di tengah kota menunjukkan bahwa rumah tersebut bukan sembarang tempat tinggal. Dalam arsip peninggalan Balai Pelestarian Cagar Budaya, rumah gadang ini tercatat memiliki nomor inventaris 07/BCB-TB/A/03/2007.
Meski tak ada catatan pasti tahun pendiriannya, berbagai sumber menyebut rumah ini berdiri bersamaan dengan pembangunan Masjid Godang Balai Nan Duo. Dalam buku Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia, karya Abdul Baqir Zein, disebutkan bahwa kedua bangunan itu dibangun sekitar tahun 1840.
Di samping itu, sejarah rumah gadang ini tak lepas dari sosok Sutan Chedoh, seorang regent atau pengawas Kota Payakumbuh pada masa kolonial, atau dalam bahasa Belanda dituliskan dengan kalimat regentes yang memiliki makna bupati, sedangkan dalam istilah pribumi dahulu dikenal sebagai yang membawahi tuanku lareh, tuanku palo, tuanku mandor, tuanku pakus.
Jabatan regent ini dahulunya tidak sembarangan orang diberikan kepada pribumi. Salah satunya adalah kepada pewaris Kerajaan Pagaruyung yang bernama Sultan Alam Bagagar Syah yang menjadi Regen di Tanah Datar..
Dalam buku Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang, sejarawan Rusli Amran menulis bahwa Sutan Chedoh diangkat menjadi regent karena kesediaannya membantu pemerintah Belanda dalam menghadapi kaum Paderi. Ia bukan hanya pejabat kolonial, melainkan juga seorang penghulu andiko di Nagari Koto Nan Ompek, bergelar Datuk Mangkuto Simarajo dari Suku Koto. Gelar “Sutan” disematkan kepadanya sebagai penghargaan atas jasa-jasanya terhadap Belanda, sebuah penghormatan sekaligus penanda posisi sosial yang tinggi.
Secara arsitektural, Rumah Gadang Balai Nan Duo bertipe Gajah Maharam, jenis rumah gadang terbesar yang ditemukan di wilayah Payakumbuh. Struktur bangunannya kokoh, dibangun dari kayu yang disatukan tanpa paku, hanya dengan pasak, sementara tangga depannya terbuat dari batu berlapis semen. Sekalipun telah beberapa kali dipugar, rumah gadang ini masih mempertahankan bentuk aslinya. Setiap tiang, setiap ukiran, seolah berbisik tentang masa lalu yang megah.
Konon, dalam mendirikan rumah seperti ini dibutuhkan kesepakatan besar antar kaum. Biaya pembangunannya tidak kecil, dan setiap bentuk rumah gadang mencerminkan kedudukan sosial penghuninya. Karena itu, rumah milik Sutan Chedoh yang demikian besar dan indah diduga kuat dibiayai sendiri olehnya, hasil dari gaji dan kedudukannya sebagai regent yang cukup mapan.
Pembangunan rumah gadang juga melibatkan Tukang Tiga Belas para ahli pertukangan yang didatangkan dari berbagai nagari di wilayah Lima Puluh Kota dan Payakumbuh. Rumah ini memiliki 50 tiang, melambangkan Luhak Limo Puluah, dan sembilan ruang utama plus satu ruang dapur di bagian kanan bangunan. Uniknya, dapur tersebut tidak berada di belakang sebagaimana lazimnya rumah gadang, melainkan di samping dengan atap yang sedikit lebih rendah.
Penulis dan budayawan Amir B. dalam bukunya Minangkabau, Manusia dan Kebudayaan menyinggung bahwa rumah gadang ini memiliki mahligai dan anjung peranginan, seperti istana Pagaruyung tempat para putri bersulam sambil menikmati angin sore. Atapnya menjulang dengan tujuh gonjong: lima di bangunan utama dan dua di bagian mahligai. Meski rumah gadang Gajah Maharam biasanya memiliki delapan gonjong, keunikan inilah yang justru menambah karakter bangunan Balai Nan Duo.
Di halaman depannya, sebuah rangkiang berdiri tegak, lumbung padi yang menjadi simbol kesejahteraan. Seluruh elemen rumah ini tampak saling melengkapi, menghadirkan kesan bahwa bangunan ini bukan sekadar tempat tinggal, melainkan juga pusat kekuasaan dan simbol kejayaan masa silam.
Seperti yang adanya hari ini, Rumah Gadang Balai Nan Duo berdiri sebagai artefak kultural yang memuat narasi sosial dan historis Minangkabau dalam bentuk paling konkret. Jelas ia bukan sekadar bangunan fisik, melainkan teks kebudayaan yang dapat dibaca melalui struktur, simbol, dan orientasi ruangnya.
Setiap ukiran dan tiang bukan hanya ornamen, tetapi representasi epistemologi adat yang menegaskan relasi antara kekuasaan, legitimasi, dan identitas kolektif masyarakat Minang.
Dalam perspektif antropologi arsitektur, rumah ini menjadi ruang memori yang melampaui fungsi domestik, menautkan nilai-nilai matrilineal dengan ekspresi sosial-politik zamannya. Rumah Gadang Balai Nan Duo, dengan demikian, adalah manuskrip diam yang mengajarkan bagaimana budaya Minangkabau menuliskan sejarahnya melalui wujud dan ruang.