Payakumbuh Youth Arte Committee: Melawan Arus dengan Ruang Kesenian Anak Muda

Di jantung Kota Payakumbuh sekelompok anak muda menyiapkan sesuatu yang sederhana tapi berjiwa besar: mencipta ruang untuk seni, memelihara dialog, dan menantang kefakuman budaya di Kota yang selama ini dikenal lebih dengan kuliner dan tenunannya ketimbang denyut keseniannya. Mereka menyebut diri sebagai Payakumbuh Youth Arte Committee atau disingkat PYAC.

Bagi sebagian orang, Payakumbuh barangkali hanyalah Kota kecil di kaki Gunung Sago. Namun, Kota yang lembab dan teduh ini telah lama dikenal sebagai tanah yang menumbuhkan banyak seniman. Dari masa ke masa, lahir nama-nama yang menggetarkan panggung teater, puisi, hingga musik. Tetapi di balik reputasi itu, ada paradoks yang dirasakan oleh generasi mudanya: Kota yang melahirkan banyak seniman justru miskin dengan agenda kesenian. Dalam setahun, pergelaran seni yang diadakan bisa dihitung dengan jari satu tangan.

“Harus ada upaya mencuri-curi kesempatan, menciptakan ruang-ruang seni untuk memperkaya diri lewat aktivitas kesenian,” begitu kira-kira semangat awal yang melatari lahirnya PYAC yang dilansir dari potret profil mereka. Mereka percaya, ruang kesenian seharusnya bukan hanya tempat untuk tampil, melainkan juga wadah untuk tumbuh, saling mendengar, dan menemukan arah baru dalam berkarya. Fokus mereka pun jelas: anak muda. Bukan hanya karena energi mereka yang segar, tapi karena suara mereka masih jernih untuk menafsirkan dunia dengan cara yang tak terduga.

PYAC kemudian memulai perjalanannya dengan membaca Kotanya sendiri. Mereka menggelar lokakarya, semacam peta awal untuk menelusuri potensi sosial dan kultural Payakumbuh. Dari hasil pembacaan itu lahirlah agenda-agenda yang secara perlahan mengisi ruang Kota dengan peristiwa seni: pertunjukan, diskusi, festival, dan kampung budaya yang tumbuh dari masyarakatnya sendiri. Dari situ, terbentuklah apa yang kini mereka sebut sebagai ekosistem seni Payakumbuh.

Salah satu program unggulan mereka adalah Payakumbuh Performing Art, panggung alternatif yang menampilkan karya tari, musik, dan teater yang berakar dari tradisi. Program ini menjadi ruang ekspresi bagi seniman muda Payakumbuh dan Sumatra Barat, yang ingin bereksperimen tanpa kehilangan jejak pada akar budayanya. Ada pula Payakumbuh Indie Musik, ajang pergelaran dan bincang-bincang bersama musisi independen tentang proses kreatif dan dinamika bermusik di daerah.

Selain itu, PYAC menginisiasi Merancang Festival Warga, sebuah program kolaboratif dengan masyarakat setempat untuk memetakan potensi seni yang mereka miliki dan kemudian merancang perayaan budaya dari hasil olah bersama. Dari sini, seni tidak lagi berhenti di panggung ia hidup di tengah warga, menjadi bagian dari keseharian mereka.

Untuk menghidupkan dialog, PYAC punya agenda rutin bernama Ngopini (Ngobrol Pekan Ini), digelar bersama Gerobak Kopi Payakumbuh. Program ini menghadirkan anak-anak muda inspiratif untuk berbagi pengalaman dan gagasan kreatifnya. Di luar itu, mereka juga memiliki Artcamp, program tahunan di penghujung tahun yang menjadi kaleidoskop dari seluruh kegiatan PYAC. Artcamp bukan sekadar pameran atau pertunjukan, tapi ruang pertemuan antara seniman, komunitas, dan masyarakat dalam suasana santai di tengah bentang alam.

“Artcamp itu semacam ruang bertemu antara seni dengan dunia di luar dirinya,” ujar Roni Keron, salah satu pendiri PYAC, saat ditanya sudutpayakumbuh.com, Sabtu, 11 Oktober 2025. Dalam pandangannya, Artcamp menghadirkan suasana yang berbeda untuk menikmati karya seni, bukan di gedung pertunjukan yang kaku, melainkan di alam terbuka, di mana seniman dan penonton bisa saling berdialog tanpa jarak. “Kami ingin libur panjang akhir tahun menjadi momen orang bertemu dengan pengalaman-pengalaman estetis,” tambahnya.

Roni Keron bukan sosok baru dalam jagat seni Payakumbuh. Sejak 2016 hingga 2019, ia dipercaya bersama teman-temannya di PYAC menjadi penata artistik untuk Pasa Harau Art & Culture Festival, lalu Payakumbuh Botuang Festival pada 2017. Di tahun yang sama, ia juga menginisiasi Payakumbuh Artspace 1, festival kecil yang memadukan pertunjukan, pameran, dan pemutaran film, termasuk karya musik tradisi Sijobang. Dari tahun 2017 hingga 2019, ia konsisten menggelar Artcamp sebagai agenda tahunan yang menjadi identitas PYAC.

Di luar kegiatan festival, PYAC juga terjun ke dunia film. Mereka memproduksi film pendek seperti Cemar dan Yang Tak Diingat
pada 2022, serta Langkah Tigo dan Sitenggang Lapa pada 2023. Kiprah mereka bahkan menembus skala nasional ketika menjadi salah satu kolaborator Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam program Anti-Corruption Film Festival Movie Day 2025 yang berlangsung di Payakumbuh dan juga Lima Puluh Kota, pada juli lalu, bersama tujuh komunitas seni dari berbagai daerah di Indonesia lainnya yang terpilih.

Meski banyak bergerak di jalur independen, PYAC tak ingin hanya sekadar menjadi komunitas yang menonton dari pinggir. Mereka punya visi yang lebih besar, yakni menciptakan arus. “Harapan ke depan, PYAC dibayangkan sebagai ruang anak muda Kota Payakumbuh yang mampu membuat “arus”. Jika kita sepakat dengan asumsi bahwa hari ini banyak anak muda yang terbawa arus kebaruan, trend, menjadi follower, dan seterusnya. Justru PYAC ingin melawan arus itu dengan membuat arus baru.” tutup pria yang menyelesaikan pendidikan magisternya di Prodi Humanitas ISI Padang Panjang tersebut.

Dengan demikian dapat dilihat bahwa semangat PYAC terasa seperti oase kecil: sederhana tapi berani. Mereka menolak diam di tengah stagnasi budaya Kota kecil. Dari ruang kopi, lapangan, hingga lembah hijau tempat Artcamp digelar, mereka mengukir ulang makna berkesenian di Payakumbuh. Mungkin inilah caranya anak muda Kota ini melawan arus dengan mencipta, berdialog, dan terus menyalakan nyala kecil di panggung-panggung yang mereka bangun sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *