Surau, Sepeda Onthel, dan Kesalehan Seorang Syekh Ibrahim Harun ”Baliau Bomban”

Melalui manaqib-manaqib ulama Payakumbuh kita serasa di ajak untuk bernostalgia soal masa silam kembali. Di Jalan Rangkayo Rasuna Said No.190, tepatnya di kawasan Balai Batimah, berdiri sebuah madrasah yang tenang, dikelilingi pepohonan. Di kompleks itu, tersimpan kisah seorang ulama besar yang dulu pernah masyhur namanya: Syekh Ibrahim Harun atau yang juga dikenal dengan sebutan ”Baliau Bomban” seorang guru besar Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah yang ilmunya menembus batas daerah dan generasi.

“Beliau itu orangnya tawadhu, suka membaca Dala’il Khairat, dan sangat dekat dengan murid-muridnya,” tutur Hasnidar, cucunya yang telah berusia 77 tahun, sambil mengelus meja yang ada di depannya . Ia masih mengingat jelas kisah-kisah karomah sang kakek, termasuk peristiwa suatu sore ketika hujan deras mengguyur Payakumbuh, namun pakaian Syekh Ibrahim tetap kering saat tiba di surau menaiki sepeda onthel “kereta unto” kata orang Minang dulu kata Hasnidar.

Syekh Ibrahim Harun, menurut penuturan keluarga, berasal dari Lintau. Awalnya dikenal sebagai Pakiah Ibrahim, ia menapaki jalan keilmuan yang panjang sebelum akhirnya dikenal luas sebagai salah satu tokoh utama Tarekat Naqsyabandiyah di Sumatra Barat. Murid-muridnya datang dari berbagai penjuru, seperti Aceh, Bengkulu, Riau, hingga Jambi, mencari bimbingan spiritual di surau kecil yang ia buka di Balai Batimah.

Kiprahnya juga tercatat dalam sejarah besar Tarekat di Indonesia. Ia termasuk salah satu ulama yang menghadiri Konferensi Besar Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Bukittinggi pada tahun 1954, yang diselenggarakan oleh Dewan Tarekat Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Pertemuan monumental itu dihadiri oleh 280 ulama se-Sumatera Tengah, termasuk tokoh-tokoh seperti Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Syekh Abdul Ghani Batu Basurek, dan Syekh Muhammad Sa’id Bonjol, dan tokoh besar lainnya. Keputusan penting konferensi itu kemudian dihimpun dalam risalah Tablighul Amanah fi Izalat Khurafat wa Syubhah (Mathba’ah Nusantara, 1954).

Namun yang membuat nama Syekh Ibrahim Harun tetap hidup bukan hanya ilmunya, melainkan juga akhlaknya. “Walaupun beliau seorang Syekh, beliau masih sering membersihkan kamar mandi,” kenang Hasnidar. Ketika ditanya alasannya, sang kakek menjawab tenang, “Ini amal baik. Kalau tempat ini bersih, orang yang berwudhu tidak akan terganggu.” Kalimat sederhana itu, bagi Hasnidar, adalah pelajaran tentang kesucian lahir dan batin tentang rendah hati yang tak pernah lekang waktu.

Salah satu murid beliau yang kemudian dikenal luas ialah Syekh Ali Amran Ringan Ringan (1926–2005), pendiri Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan Ringan, Padang Pariaman.

Dari generasi ke generasi, ajaran dan semangat Syekh Ibrahim terus mengalir. Kini, di kompleks MTs Syekh Ibrahim Harun di Bomban, Tiakar, Payakumbuh Timur, nama itu masih dijaga. Madrasah itu kini menerapkan sistem pondok pesantren, yang mana kombinasi itu kini menjadi saksi bahwa jejak seorang alim sejati tak hanya hidup di kitab dan surau, tapi juga di hati murid-muridnya yang terus menyalakan cahaya ilmu dan akhlak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *