Panorama Kayu Kolek di Nagari Tanjung Haro Sikabu-Kabu Padang Panjang, Kecamatan Luak, Kabupaten Lima Puluh Kota, akan menjadi tuan rumah bagi kegiatan Camp Bakalamai, kemah budaya yang digagas oleh Komunitas Saga Batuah. Acara ini dijadwalkan berlangsung pada 24–26 Oktober 2025 dan dirancang sebagai ruang pewarisan budaya yang menyatukan unsur adat, kuliner, serta kesenian tradisional dan modern.
Selama tiga hari itu, peserta dari berbagai daerah akan mengikuti beragam agenda seperti Panggung Ekspresi, Workshop Bakalamai, pertunjukan seni, hingga upacara peringatan Sumpah Pemuda. Bagi Saga Batuah, kegiatan ini bukan sekadar perayaan, tetapi sebuah ikhtiar untuk menyambung ingatan kolektif tentang warisan leluhur yang mulai tergerus zaman.
Saga Batuah sendiri merupakan komunitas budaya yang berdiri sejak April 2024 di Nagari Tanjung Haro. Mereka menyebut diri sebagai pembaca “Pustaka Alam” konsep yang menempatkan alam sebagai ruang belajar dan sumber kebijaksanaan. Dari sinilah lahir ide untuk menggelar Camp Bakalamai, sebuah ruang pertemuan antara tetua adat, seniman, dan anak muda dalam suasana kemah yang akrab.
Muhammad Reflin Azwar, Ketua Umum Saga Batuah sekaligus Ketua Pelaksana Camp Bakalamai, menyadari bahwa minat generasi muda terhadap budaya lokal kian menurun. Dalam wawancara dengan Sudut Payakumbuh pada Rabu (15/10/25), ia menjelaskan strategi dan filosofi kegiatan tersebut.
“Menurut saya dalam konteks kekhawatiran akan pudarnya minat generasi muda ini terhadap budaya lokal sebenarnya memang tidak banyak yang bisa kita lakukan, sebab semua ini saya kira hanyalah upaya dari kelompok kecil untuk pelestarian sehingga dapat kita abadikan dalam bentuk kegiatan rutin tahunan. Strategi konkret yang kami siapkan untuk pewarisan budaya ini yaitu dengan cara menghubungkan para tokoh adat dan seniman lokal. Sehingga mentoring pada generasi muda dapat terwujud lewat pengalaman nyata,” ujar Reflin.
Ia menegaskan bahwa kegiatan ini tidak boleh berhenti sebagai seremoni. Menurutnya, pelestarian budaya membutuhkan perhatian bersama dari berbagai sektor agar memiliki dampak berkelanjutan.
“Dan juga, kegiatan ini harus menjadi perhatian kita bersama dari sektor terkecil hingga organisasi terbesar yang mendominasi saat ini agar tidak berhenti sebagai seremonial belaka. Kegiatan Camp kali ini pun adalah wujud keberlanjutan dari upaya pewarisan terhadap budaya lokal setelah dua kegiatan sebelumnya yaitu Camp Manggulai Kambiang, dan Camp kesenian budaya,” tambahnya.
Konsep Pustaka Alam yang diusung Saga Batuah juga menjadi fondasi filosofis dari kegiatan ini. Bagi Reflin, alam adalah sumber pengetahuan yang paling autentik, dan kemping budaya menjadi cara paling langsung untuk kembali membaca “teks-teks kehidupan” yang hidup di masyarakat.
“Ya, benar sekali Komunitas Saga Batuah mengusung konsep ‘Pustaka Alam’ sebagai landasan kegiatannya. Secara praktis penerapannya dalam Camp Bakalamai adalah dengan pemilihan kegiatan yang berupa Camp sehingga secara langsung akan berhubungan dengan lokasi lanskap budaya yang menyimpan nilai budaya (hutan adat, sungai, ladang). Selanjutnya, memilih aktivitas yang bernilai simbolik. Kegiatan memasak menurut saya pribadi adalah kegiatan yang mengandung pembelajaran langsung dari sumbernya atau dapat dikatakan sebagai pembelajaran dari buku-buku yang tidak bersampul,” jelasnya.
Di samping itu, Camp Bakalamai tidak hanya menghadirkan romantisme tradisi, melaintapi juga hadirkan proses belajar yang hidup interaksi nyata antara manusia dan lingkungannya, antara adat dan modernitas. “Camp Bakalamai memadukan warisan budaya dan kearifan alam dalam format edukatif dan berkelanjutan. Tidak hanya seremonial, tapi jadi ruang tumbuhnya generasi pewaris budaya yang sadar akar,” tutupnya.
Kegiatan ini juga memberi dampak ekonomi dan sosial yang signifikan. Saga Batuah melibatkan pelaku usaha kecil dan seniman lokal dalam setiap programnya. Dengan begitu, Camp Bakalamai menjadi wadah kolaboratif yang menghidupkan semangat pemberdayaan masyarakat sekaligus memperkuat identitas budaya daerah.
Jadi, apabila penasaran silahkan datang ke Panorama Kayu Kolek yang akan diterangi cahaya obor dan nyala api unggun itu. Di antara nyanyian tradisional dan aroma masakan di dapur terbuka, anak-anak muda belajar bukan hanya dari buku, tapi dari alam dan manusia di sekitarnya. Dari sinilah, api kecil pewarisan budaya itu dijaga agar tak padam.