Mendatangi Buya Syamsu Anwar Mangkuto Malin di Taeh Baruah

Rabu (15/10/2025), suasana Taeh Baruah terasa sejuk, sudutpayakumbuh.com melangkah menuju Surau Putiah, tempat seorang ulama sepuh, Buya Syamsu Anwar Mangkuto Malin, menetap dan menyalakan cahaya ilmu. Lelaki bersorot mata teduh itu lahir pada 6 Juni 1940 dan merupakan murid langsung dari sosok karismatik Syekh H. Amin Taeh Bukik, seorang ulama yang bagi masyarakat Taeh Baruah bukan sekadar guru, tetapi poros spiritual yang tak tergantikan.

Buya yang kini hampir menginjak umur 85 tahun itu menyambut kami dengan ketenangan yang khas, seolah waktu berjalan lebih lambat di bawah naungan surau kayu itu. Dari beliau mengalir kisah panjang tentang perjalanan ilmu dan nasihat-nasihat luhur para guru terdahulu. Salah satu yang paling diingatnya adalah pesan dari Al-Allamah Syekh H. Mukhtar Angku Lakuang, pendiri Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Koto Panjang, yang berpesan agar umat Islam menjaga hati dalam perbedaan.

“Di akhir zaman akan ada 73 golongan dalam Islam. Semuanya mengaku dirinya benar, tapi hanya satu yang diterima oleh Allah. Kalau berbeda ilmu, jangan saling mencaci maki. Pelajari apa yang benar dan amalkan dengan istiqamah,” ujar Buya Syamsu, mengutip kembali pesan gurunya itu dengan suara lembut namun tegas.

Kalimat “jangan dicaci maki” seolah menjadi inti dari kebijaksanaan Minangkabau yang meresap dalam ajaran para ulama klasik sebuah peringatan untuk menahan ego teologis di tengah maraknya perpecahan. “Pokoknya, apa yang sudah dipelajari, itu yang diamalkan. Jangan berubah-ubah,” lanjutnya dengan senyum tipis yang menyimpan keteguhan seorang alim tua.

Dalam percakapan yang berlangsung malam hari itu, Buya Syamsu mengenang masa-masa berguru kepada Syekh H. Amin. “Kalau ambo jo baliau, banyak hal nan ndak bisa aka manangkok,” ucapnya, menggambarkan betapa karamah sang guru melampaui nalar biasa. Sejak 1960 beliau sudah menimba ilmu di surau, dan baru menerima ijazah pada 1964. “Ambo barulang tetap ka surau sampai baliau maningga,” katanya lirih, mengenang masa itu.

Buya juga bercerita tentang masa belajarnya di MTI Koto Panjang di bawah asuhan Syekh Mukhtar Tuanku Lakuang. “Dulu ambo sekolah disitu. Kemanapun Buya Ongku Lakuang wirid, biasonyo ambo poi, bakareta, kadang bajalan. Urang di Koto Panjang ndak takuik jo Buya Ongku Lakuang, tapi lobiah ka sayang,” kenangnya.

Dari ceritanya, tergambar bagaimana tradisi ilmu tidak berhenti di ruang kelas, tetapi hidup di surau-surau yang menjadi ruang dialektika dan silaturahmi keilmuan. Syekh Mukhtar, kata Buya, bahkan rutin menggelar forum tarekat setiap bulan, mempertemukan para buya dari berbagai nagari untuk berdiskusi, beradu hujjah, dan mengasah ketajaman argumentasi soal Tarekat.

Di Surau Putiah itu, Buya Syamsu masih menjaga bara kecil tradisi keilmuan s
Surau. Di matanya, surau bukan sekadar tempat ibadah, tetapi ruang tempat adab, ilmu, dan kebijaksanaan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan satu pesan yang tak lekang waktu: jangan mencaci maki perbedaan, amalkan ilmu dengan keteguhan hati.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *