Nama Buya Amrialis masih kerap disebut dengan nada hormat. Sosok yang dikenal tawadhu’ itu telah mengabdikan hidupnya untuk ilmu dan umat selama lebih dari setengah abad. Sejak 1972 ia mulai mengajar di MTI Tobek Godang, lalu begitu pula di MTI Koto Panjang pada 1975 hingga 2005. Ia sempat berniat berhenti beberapa tahun terakhir karena usia yang menua menginjak 70-an, namun murid-murid dan rekan sesama guru menahannya. “Masih banyak hal yang hanya Buya yang bisa,” begitu kata mereka, terutama soal ilmu nahwu yang menjadi kepakarannya.
Buya Amrialis sosok Mustasyar PERTI Cabang Lima Puluh Kota itu berpulang pada Kamis, 23 Mei 2024, pukul 14.00 WIB di Jorong Tabek Panjang, Nagari Koto Baru Simalanggang. Ia wafat pada usia 74 tahun meninggalkan kenangan panjang tentang seorang guru yang bukan hanya alim, tapi juga bersahaja dan berseni.
Semasa hidup, Buya Am begitu kadang panggilannya, kerap berkisah tentang kedekatannya dengan para ulama besar seperti Syekh H. Rusli Abdul Wahid dan Syekh Mukhtar Angku Lakuang. Buya yang hobi bersepeda ini, dalam salah satu ceritanya, ia menyinggung pertemuan legendaris antara Syekh Abdurrahman Al-Khalidi Kumango dengan Baliau Tobiang Runtuah, di mana sang Syekh datang bersama anaknya dengan satu permintaan yang hingga kini masih jadi misteri di kalangan murid Buya.
Selain ahli dalam ilmu gramatika Arab, Buya juga seorang pendekar Silek Kumango. Ia menimba ilmu silat kepada Buya Bilar Martani di Jorong Guguak Nunang di Nagari Sungai Talang, dan mengambil Tarekat Samman dari Buya Datuak Angku Tuah, seorang ahli tilawah Al-Qur’an yang juga dikenal luas di Luak Limo Puluah.
Ia menempuh jalan panjang berguru kepada banyak ulama Minangkabau: Buya Hasan Padang Kandih, Buya Zawajir Spingai, Buya Islami Dt. Mangguang, Buya Imam Mirin Limbanang, Buya Harmaini Ompang Gadang, Buya Hj. Maulana Dt. Karaing, Buya Nawawi Guguak Nunang, Buya Ahmad Sati, dan Buya Dt. Bandaro Sati.
Salah satu muridnya, Zelfeni Wimra, Dosen UIN Imam Bonjol Padang, menulis kenangan hangat tentang gurunya itu. “Kalau dalam kelas kami kesulitan memahami sarah kaji, Buya langsung membuka langkah silek di depan. Ia minta satu di antara kami maju jadi lawan. Lalu, setiap gerakan silat ia hubungkan dengan perubahan kalimah yang terdampak oleh awamil. Suasana kelas yang sebelumnya hening langsung riuh dan penuh tawa. Begitulah cara Buya menghidupkan ilmu,” tulis pria yang akrab disapa Wimo itu.
Bagi jamaah kampung, kedatangan Buya pada pengajian Maulid Nabi atau Isra’ Mi’raj selalu dinanti. Bahkan sebelum ia sempat mengucap salam, tawa jamaah sudah pecah. Ada kehangatan khas yang membuatnya dicintai: ilmu yang dalam, humor yang ringan, dan tutur yang tak pernah menyakiti.
Kenangan serupa datang dari Andrial Putra. “Beberapa tahun lalu, Buya berkisah tentang ulama-ulama PERTI masa silam sambil mengurut dada. Wajahnya murung, jauh dari sosok humoris yang biasa. Dalam bahasa Minang ia berkata, ‘Dulu kalau Buya Sirajuddin dan Buya Rusli hadir, ndak ado urang nan tolok mambantah kaji kito ko. Tapi kini, a non ko disobuk,’” kenangnya, menirukan logat Payakumbuh yang fasih.
Di antara sekian banyak kisah yang diwariskannya, satu cerita selalu disebut murid-muridnya: tentang seorang temannya yang berpaham keras, gemar menyalahkan amalan seperti yasinan, tahlilan, dan suluk. Orang itu akhirnya bertobat setelah berjumpa Buya Liman dari Negeri Belubus, seorang tukang bengkel sederhana yang alim luar biasa. Kisah itu sering diulang Buya Am sebagai penanda: bahwa keilmuan sejati tak diukur dari penampilan atau status sosial, melainkan dari kebeningan hati.