Nostalgia Pemandian Batang Tabik

Di kaki Gunung Sago, di sebuah nagari bernama Sungai Kamuyang, Kecamatan Luak, Kabupaten Lima Puluh Kota, mengalir sebuah sumber kehidupan yang menyejukkan hati dan menyimpan begitu banyak cerita. Pemandian Alam Batang Tabik, demikian masyarakat menyebutnya sebuah tempat di mana air seolah tidak pernah kehilangan kejernihan, dan waktu seakan berhenti di antara riak-riaknya.

Air yang mengisi kolam-kolam di Batang Tabik berasal langsung dari mata air alami di perut Gunung Sago. Dingin dan beningnya terasa menyentuh tulang, membuat siapa pun yang datang tak sabar untuk segera menyelam. Salah satu kolam yang paling dikenal pengunjung adalah Kolam Ibu, kolam yang masih mempertahankan bentuk alaminya. Dasarnya berpasir dan berbatu, dihuni ikan-ikan kecil yang berlarian di sela riak air. Para wisatawan sering memanfaatkan momen itu untuk snorkeling ringan atau sekadar berfoto di bawah air mewujudkan romantika sederhana antara manusia dan alam.

Nama Batang Tabik sendiri berakar dari bahasa lokal: “tabik” berarti “terbit”, merujuk pada mata air yang muncul dari dalam tanah. Menurut cerita masyarakat, aliran airnya bahkan dipercaya bersumber jauh dari Danau Singkarak. Kini, pengelolaan kawasan wisata ini berada di bawah Kerapatan Adat Nagari (KAN) Sei Kamuyang, yang menjaga agar warisan alam sekaligus budaya ini tetap lestari.

Sejak masa penjajahan Belanda, Batang Tabik sudah menjadi satu-satunya tempat pemandian umum di wilayah Lima Puluh Kota. Fungsinya bukan hanya sebagai tempat rekreasi, tapi juga sumber air bersih untuk masyarakat. Air jernih dari kawasan ini bahkan masih dimanfaatkan sebagai salah satu pasokan utama PDAM Kota Payakumbuh.

Namun, daya tarik Batang Tabik tak semata pada kejernihan airnya. Ia adalah kolam yang menampung nostalgia. Dalam sebuah unggahan di akun Facebook Roman Saisuak, banyak warganet menumpahkan kenangan masa muda mereka di kolom komentar. “Saya sering ke sini tahun 1950-an. Manjat pohon, terjun ke air yang jernih, berenang, menyelam. Maka anak-anak Kabupaten 50 Kota tidak canggung mandi di danau dan laut,” tulis Rostam Gawai.

Di antara komentar lainnya, muncul kisah serupa dari pemilik akun Harnijas Darmawi: “Awak lai pernah mandi-mandi di bawah batang kayu itu, kira-kira tahun 1974 awak sekolah di SMA 1 Bukik Sitabua tamatan 1975.”

Namun komentar paling menegangkan datang dari akun bernama Nofrizal Shallo, yang mengenang petualangan remajanya dengan getir sekaligus tawa: “Tahun 1977 saat saya kelas dua SMEP Payakumbuh, pernah ke sana sekitar delapan orang bersepeda. Saat itu kolam renangnya sudah dibuat yang baru dan jernih. Kolam asli sudah ditutup untuk sumber air PDAM. Kisah tak terlupakan, saya berdiri di pinggir tempat paling dalam, sekitar 2,5 meter, lalu diam-diam diceburkan teman-teman. Padahal saya tak bisa renang. Saya langsung tenggelam ke dasar kolam, dan mereka buru-buru menolong saya. Alhamdulillah, selamat.”

Kini, puluhan tahun berselang, Batang Tabik masih memantulkan wajah-wajah riang yang sama. Suara tawa anak-anak, gemericik air, dan bayangan pepohonan di permukaan kolam menjadi saksi bahwa waktu boleh berganti, tapi kenangan di air jernih Gunung Sago itu tak pernah surut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *