Bagi masyarakat Luak Limopuluah meliputi Kota Payakumbuh dan Kabupaten Lima Puluh Kota nama dr. Adnan WD tak asing di telinga. Sebab, nama itu kini melekat pada rumah sakit yang berdiri di Jalan Ade Irma Suryani, RSUD dr. Adnan WD, salah satu fasilitas kesehatan tertua di Sumatra Barat yang jejaknya bisa ditelusuri hingga tahun 1923. Namun di balik nama itu, tersimpan kisah seorang dokter yang bukan hanya menolong pasien di meja perawatan, tetapi juga turut merawat republik yang tengah berdarah mempertahankan kemerdekaannya.
Adnan WD bukan putra asli Minangkabau. Ia lahir di Palembang, Sumatra Selatan. Namun, sejak masa pendudukan Jepang hingga awal kemerdekaan, namanya dikenal luas di Luak Limopuluah sebagai sosok yang setia mengabdi di bidang kesehatan. Di tengah keterbatasan obat, alat, dan tenaga medis kala itu, Adnan tetap membuka pintu rumah sakit bagi masyarakat tanpa memandang golongan. Dedikasinya membuatnya cepat dihormati, bahkan dipercaya untuk mengemban tanggung jawab lebih besar di luar profesinya sebagai dokter.
Pada 8 Oktober 1945, Adnan ditunjuk sebagai Pelaksana Harian Bupati Lima Puluh Kota, jabatan yang diembannya hingga 23 Januari 1946. Periode itu adalah masa paling genting, ketika republik baru saja berdiri namun belum sepenuhnya kokoh. Dalam situasi penuh ketegangan politik dan militer, Adnan berperan menjaga stabilitas administratif serta memastikan layanan kesehatan tetap berjalan di tengah gejolak. Karena itu pula, ia kemudian lebih dikenal oleh banyak kalangan sebagai “Bupati pertama Lima Puluh Kota,” bahkan sebelum Syahfiri St. Pangeran secara resmi dilantik dalam jabatan tersebut.
Ketika Agresi Militer Belanda II pecah pada Desember 1948, perannya kembali diuji. Payakumbuh menjadi salah satu titik penting dalam koordinasi Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Kala itu, kota ini dibombardir dan direbut, rakyat panik, dan komunikasi pusat-pemerintah terputus. Namun dari reruntuhan itu, muncul nama Mardisun, tokoh pemuda dari Koto Nan Gadang, yang memimpin barisan gerilyawan di sektor Payakumbuh Utara. Bersama Mardisun, dr. Adnan WD tak hanya menjadi saksi, tapi juga bagian dari denyut perlawanan itu.
Awal Maret 1949, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Militer Pe.Ma./M.P2 Nomor 001/Ist.Rahasia tanggal 1 Maret 1949, Mardisun resmi diangkat sebagai Ketua Pemerintahan Darurat Kota Payakumbuh. Ia menunjuk dr. Adnan WD sebagai wakil kepala pemerintahan yang berkedudukan di dalam kota tugas yang menuntut keberanian dan kecermatan di tengah kepungan pasukan Belanda. Struktur pemerintahan darurat itu juga didukung oleh Djoefri, seorang jaksa di wilayah pendudukan, bersama Damir Djanid, Zaidar Noerdin, dan Chaidir yang berperan sebagai penghubung komunikasi lapangan.
Nama dr. Adnan WD kemudian terus hidup di tengah masyarakat Payakumbuh. Pada tahun 1993, usulan para veteran dan rekan seperjuangannya akhirnya disetujui: rumah sakit yang dulu dipimpinnya resmi dinamai RSUD dr. Adnan WD. Langkah itu bukan sekadar penghormatan simbolik, tapi berupa pengakuan atas dedikasi seorang dokter pejuang yang mengabdikan hidupnya bagi kesehatan dan kemerdekaan.
Kini, setiap kali masyarakat melintasi halaman rumah sakit itu, mereka tak sekadar melihat nama di plakat dinding. Di baliknya, tersemat kisah seorang dokter yang menambal luka bangsa dengan tangan dan hatinya,m di masa ketika republik masih berdiri di atas bara perjuangan.