Mengenang Mardisun: Pahlawan Terlupakan dari Koto Nan Gadang dan Jejak Perlawanan di Masa PDRI

Di halaman Kantor Kerapatan Adat Nagari (KAN) Koto Nan Gadang, sebuah tugu berdiri sunyi di bawah rindang pohon asam tua. Di kanan-kirinya, sepasang meriam berkarat menjadi saksi bisu atas perang yang pernah menggetarkan nagari ini. Banyak orang lalu-lalang tanpa sempat berhenti menatap nama-nama yang terpahat di batu dingin itu. Namun bagi sebagian kecil warga yang masih mengingat, tugu itu bukan sekadar monumen: ia adalah pengingat atas darah, kehilangan, dan keberanian yang membentuk Koto Nan Gadang di masa-masa genting Republik.

Dalam prasasti itu terukir nama tiga puluh pejuang yang gugur dalam Agresi Militer Belanda II, antara Desember 1948 hingga Desember 1949. Di bawahnya tertulis sederhana: Rakyat 50 orang dan rumah 371 buah. Kalimat singkat itu menyimpan luka panjang tentang kampung yang terbakar, keluarga yang kehilangan, dan tanah yang jadi saksi perang gerilya di bawah bayang-bayang Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Ketika Belanda melancarkan serangan ke Yogyakarta dan Bukittinggi pada 19 Desember 1948, Republik terancam bubar. Hanya tiga hari kemudian, Syafruddin Prawiranegara membentuk PDRI di Bukittinggi, menandai babak baru perjuangan. Namun tak lama berselang, 23 Desember, Payakumbuh jatuh ke tangan Belanda. Kantor Bupati, markas Batalyon Singa Harau, hingga pabrik senjata di Kubu Gadang hangus dibakar. Masyarakat diperintahkan untuk tetap tenang, tapi malam-malam di Koto Nan Gadang berubah menjadi ketakutan yang panjang: jam malam diberlakukan, razia dilakukan, dan banyak nyawa melayang tanpa perlawanan.

Di tengah kekacauan itu, nama Mardisun muncul. Ia bukan perwira militer, hanya seorang pemuda nagari yang menolak tunduk pada penjajah. Di bawah tekanan dan ancaman, ia memimpin kelompok pemuda yang menyusun perlawanan dari bawah tanah mengumpulkan senjata rakyat, menyusun strategi, dan mengatur pergerakan logistik untuk para gerilyawan di sektor Payakumbuh Utara.

Pada awal Maret 1949, situasi politik dan militer di Payakumbuh masih bergejolak. Di tengah tekanan pendudukan Belanda, Mardisun secara resmi diangkat sebagai Ketua Pemerintahan Darurat Kota Payakumbuh berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Militer Pe.Ma./M.P2 Nomor 001/Ist.Rahasia tertanggal 1 Maret 1949. Ia diberi mandat untuk membentuk sekaligus menjalankan struktur pemerintahan darurat di wilayah yang kala itu menjadi salah satu titik penting dalam koordinasi PDRI.

Di samping itu, penting untuk diketahui, bahwa guna memperkuat jalannya pemerintahan, dr. Adnan WD ditunjuk sebagai wakil yang berkedudukan di dalam kota. Sementara jajaran pendukungnya terdiri dari Djoefri, seorang jaksa yang bertugas di daerah pendudukan Belanda, serta Damir Djanid, Zaidar Noerdin, dan Chaidir yang berperan sebagai penghubung dalam komunikasi lapangan.

Di sisi lain, kalangan muda juga mengambil bagian penting dalam perlawanan. Sebuah jaringan Organisasi Pemuda Pelajar dibentuk untuk melaksanakan operasi penyelidikan dan sabotase di wilayah pendudukan Belanda. Kelompok ini dipimpin oleh Bustanul Arifin, bersama Anwar Nawawi, Azlir, dan Marlius, yang menjalankan tugas berisiko tinggi dengan semangat pengabdian tanpa pamrih demi keberlangsungan republik.

Namun perjuangan itu tak berlangsung tanpa pengkhianatan. Wali Nagari Koto Nan Gadang kala itu, Dt. Karaiang, dipaksa bersekutu dengan Belanda demi menyelamatkan kampungnya dari ancaman pembakaran. Hubungan antara keduanya menegang. Mardisun menolak keras kerja sama semacam itu. Baginya, tunduk pada Belanda sama dengan menodai kehormatan nagari. Ketika Dt. Karaiang mengusulkan ronda malam dengan tanda pengenal berupa band tangan berstempel Belanda, Mardisun kembali menolak. Ia tahu, simbol kecil itu bisa menimbulkan stigma bahwa Koto Nan Gadang berpihak pada penjajah.

Konflik internal itu semakin panas. Dt. Karaiang mengancam bahwa Belanda akan memperbanyak pos di sekitar nagari. Mardisun menanggapinya dengan dingin: “Semakin banyak pos mereka, semakin mudah kita menyerang.” Ucapannya menjadi semacam sumpah yang kemudian terwujud dalam perlawanan kecil namun getir di setiap sudut nagari.

Puncak tragedi datang pada 11 Februari 1949. Tentara Belanda mengepung Masjid Gadang di Balai Gadang. Tiga pemuda Hamdani, Radinas, dan Matrusi ditangkap lalu dieksekusi di halaman masjid. Sejak saat itu, perang gerilya semakin sengit. Pemuda-pemuda memperketat distribusi bahan pangan ke wilayah pendudukan Belanda. Mereka hidup dalam sembunyi, berpindah dari surau ke kebun, dari lembah ke perbukitan.

Sepuluh hari berselang, tragedi lain kembali menimpa. Pada 20 Februari 1949, tujuh pemuda Koto Nan Gadang diundang untuk rapat oleh Dt. Karaiang. Namun undangan itu ternyata jebakan. Ketujuhnya ditangkap dan dibunuh oleh kaki tangan Belanda. Tubuh mereka dieksekusi di depan makam pemuda pejuang Balai Jariang. Peristiwa itu mengubah arah perlawanan: dari bertahan menjadi menyerang.

Mardisun, yang sebelumnya dikenal berhati dingin dan strategis, mulai memimpin operasi langsung. Ia merekrut banyak pemuda, termasuk Kasuan, seorang pemuda yang awalnya disewa untuk membunuhnya. Tapi setelah berbincang lama dengan Mardisun, Kasuan justru berbalik arah, bergabung dalam barisan perlawanan. Dalam satu aksi di Simpang Benteng, Kasuan melempar granat ke arah tentara Belanda menandai lahirnya keberanian baru di bawah panji Mardisun.

Namun dendam belum reda. Setelah terkuaknya keterlibatan Dt. Karaiang dan Paduko Dewa dalam pembakaran rumah serta pembunuhan warga, Mardisun bersama para pemuda memutuskan menyerang. Pada 25 Februari 1949, rumah Dt. Karaiang dikepung dan diserbu. Pertempuran singkat terjadi. Dt. Karaiang melarikan diri ke markas Belanda, namun sehari kemudian tersiar kabar dari dr. Adnan WD, Kepala Rumah Sakit Payakumbuh, bahwa salah satu kakinya hancur terkena peluru. Ia tidak tewas, tapi hidup menderita hingga akhir hayatnya dihantui apa yang oleh warga disebut “kutukan sosial.”

Setelah peristiwa itu, nama Mardisun semakin dikenal di lingkaran militer lokal. Ia diangkat oleh Gubernur Militer M. Rasyid sebagai Ketua Pemerintahan Darurat Kota Payakumbuh dan memimpin Pasukan Gerilya Sektor II Payakumbuh Utara. Di bawah pimpinannya, koordinasi perlawanan antar-nagari mulai dari Koto Nan Gadang, Tanjung Pati, hingga Koto Tuo semakin solid. Ia mengatur pembagian logistik, mengatur strategi penyergapan, dan menjaga semangat juang pemuda di tengah keterbatasan.

Kini, nama Mardisun jarang disebut. Generasi muda lebih mengenal nama-nama besar dari buku sejarah nasional ketimbang pahlawan dari tanah sendiri. Padahal tanpa keberanian mereka, mungkin Republik takkan punya napas di masa PDRI. Tugu di halaman KAN itu, dengan cat pudar dan lumut menempel di sisi meriam, adalah satu-satunya saksi yang tersisa.

Di Koto Nan Gadang, setiap nama yang terukir di batu itu bukan sekadar daftar korban. Ia adalah narasi panjang tentang keberanian lokal, tentang sebuah nagari kecil yang menolak tunduk, tentang seorang pemuda bernama Mardisun yang menjadikan kehormatan sebagai alasan untuk melawan. Dalam sunyi tugu dan semilir angin di halaman KAN, kisahnya berbisik pelan mengingatkan bahwa kemerdekaan selalu lahir dari mereka yang memilih untuk tidak takut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *