Nama Maichel Firmansyah belakangan makin sering terdengar di lingkaran aktivis muda Sumatra Barat. Lahir di Jakarta pada 15 Mei 1999, Maichel adalah anak yang lahir dari tangan orang tua perantau, hingga dirinya pun lahir di perantauan, dan orang tuanya jugalah yang kembali menanamkan, bahwa asalnya ada di, Luhak Limo Puluah.
Meski lahir di ibu kota, kampungnya di Jorong Piladang, Nagari Koto Tangah Batu Hampar, tetap menjadi identitas yang ia bawa ke mana pun melangkah.
Lulusan Departemen Sosiologi Universitas Negeri Padang ini dikenal aktif dan tajam dalam berpikir. Sejak masa kuliah, ia sudah menaruh perhatian pada isu-isu publik, terutama soal korupsi dan etika kekuasaan. Tulisan opininya bertebaran di berbagai media nasional dan daerah, dari Padang Ekspres, Haluan, Singgalang, hingga Kumparan dan Kompasiana. Tahun 2023, kiprahnya di kampus membawanya dipercaya memimpin Ikatan Kelompok Pembelajaran Mahasiswa Anti Korupsi UNP. Dan terbaru, dirinya menerbitkan sebuah buku yang berjudul
Kini, Maichel menjabat sebagai Ketua Umum Kesatuan Mahasiswa Tarbiyah Islamiyah (KMTI) Sumatra Barat periode 2023–2026. Organisasi ini merupakan sayap mahasiswa dari Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) yang berdiri di Jakarta pada 24 Oktober 2022. KMTI lahir dari penyatuan dua organisasi besar, KMI dan IMTI, dengan semangat memperkuat basis intelektual Islam yang moderat dan progresif.
Alumni Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Canduang ini juga dipercaya duduk di Biro Administrasi Organisasi PD-PERTI Sumbar berdasarkan SK Nomor 35/PP-PERTI/IX/2025. Kiprahnya tak berhenti di ruang organisasi. Ia juga kerap tampil di televisi, berbicara tentang kepemimpinan dan isu sosial dalam program Ngobrol Inspirasi di TVRI Sumbar dan Mimbar Mahasiswa di Padang TV.
Salah satu tulisan Maichel yang cukup menarik ada pada Harian Haluan edisi Mei 2024 lalu, berjudul “Optimalisasi Organisasi Mahasiswa Berbasis Keislaman dan Keindonesiaan.” Tulisan tidak hanya semata mengajak refleksi intelektual, tetapi juga sebuah upaya akademis dalam membingkai ulang peran organisasi mahasiswa Islam di tengah realitas sosial, politik, dan ideologis kampus masa kini.
Dalam tulisan itu, Maichel Firmansyah menegaskan bahwa Islam sebagai sistem ajaran dan peradaban bersifat kosmopolitan serta transnasional, melintasi sekat geografis, ras, maupun bangsa. Ia mengutip Azyumardi Azra (2015) yang menyebut Islam sebagai agama internasional, baik secara teologis maupun fiqhiyyah, yang mampu beradaptasi dalam berbagai konteks kebudayaan.
Tentunya, di sana Maichel gunakan pendekatan historis-sosiologis, dirinya menelusuri akar lahirnya organisasi keislaman di Indonesia seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Perti, yang menurutnya merupakan bentuk respons sosial terhadap kolonialisme dan modernitas.
Ia juga melihat kelahiran ormas-ormas tersebut sebagai hasil dari proses kontekstualisasi dan akomodasi realitas lokal, sehingga Islam di Indonesia tumbuh dalam wajah yang khas, mengakar secara kultural dan terbuka terhadap pluralitas.
Di titik ini, Maichel menegaskan pentingnya organisasi mahasiswa Islam untuk kembali pada semangat tersebut: mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dengan semangat keindonesiaan.
Lebih jauh, dalam tulisannya di koran tersebut, alumni dari Pesantren Tertua Sumatra Barat itu juga menyoroti gejala meningkatnya dominasi gerakan Islam transnasional yang bersifat eksklusif di kampus-kampus negeri. Berdasarkan rujukannya pada penelitian Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, ia menilai bahwa eksklusivisme ini dapat mengancam keragaman akademik dan nasionalisme mahasiswa. Baginya, organisasi Islam yang berbasis keindonesiaan menjadi antitesis terhadap fenomena tersebut. Ia memandang organisasi mahasiswa sebagai institusi pembentuk karakter yang tak kalah penting dari lembaga pendidikan formal, karena di dalamnya tertanam nilai komitmen, kepemimpinan, dan kesadaran sosial.
Jika ditinjau pada perspektif pedagogi kritis, gagasan Maichel yang tertuang di koran itu dapat dipahami sebagai bentuk counter-narrative terhadap model gerakan keislaman yang rigid. Ia menekankan perlunya Islam inklusif yang tidak hanya berpijak pada teks, tetapi juga pada konteks sosial kebangsaan.
Tentunya dengan menggabungkan nilai usuliyyah (pokok ajaran Islam) dan furū‘iyyah (cabang yang kontekstual), organisasi mahasiswa Islam dapat menjadi ruang dialektika antara iman dan realitas sosial.
Pada penutup tulisannya, ia mencoba menghadirkan ajakan reflektif: bahwa mahasiswa sebagai agen perubahan harus menjadi penyambung estafet peradaban, bukan sekadar pengulang dogma. Dalam bahasa akademik, ini merupakan ajakan menuju Islam yang substantif, bukan simbolik, Islam yang berperan dalam membentuk masyarakat inklusif, nasionalis, dan berkeadaban.
Di balik tuturnya yang pelan, anak muda berdarah Luhak Limo Puluah ini menyimpan tekad seorang intelektual muda yang percaya bahwa pena dan ide adalah bentuk paling jujur dari perjuangan.
