Panorama Kayu Kolek di Nagari Tanjung Haro Sikabu-Kabu Padang Panjang, Kecamatan Luak, Kabupaten Lima Puluh Kota begitu menawan apabila dikunjungi. Di hamparan alam yang tenang itu, sekelompok anak muda tengah bersiap menyulut bara budaya. Mereka dari Komunitas Saga Batuah, penggagas Camp Bakalamai, sebuah kemah budaya yang akan digelar pada 24–26 Oktober 2025. Selama tiga hari, mereka akan hendak menjahit ulang ingatan kolektif tentang adat, kuliner, dan kesenian yang mulai pudar ditelan modernitas.
Bukan sekadar perkemahan, Camp Bakalamai dirancang sebagai ruang pewarisan nilai. Dari Panggung Ekspresi, Workshop Bakalamai, hingga upacara Sumpah Pemuda, seluruh agenda dibuat sebagai medium pertemuan antara tradisi dan zaman. Dilansir dari web mereka, mereka menyatakan, ”Camp Bakalamai adalah sebuah kegiatan kemah budaya yang dirancang untuk mewarisi dan melestarikan kekayaan khazanah adat, kuliner, serta kesenian tradisional. Kegiatan ini berakar dari keprihatinan akan semakin menipisnya minat generasi muda terhadap budaya leluhur mereka, yang tergerus oleh arus modernisasi dan globalisasi. Padahal, adat, kuliner, dan kesenian tradisional merupakan identitas yang tak ternilai, mencerminkan nilai-nilai luhur, kearifan lokal, dan sejarah panjang sebuah bangsa,” begitu yang ada di website sagabatuah.com.
Nada keprihatinan itu menjadi latar bagi semangat Saga Batuah. Mereka menegaskan bahwa adat, kuliner, dan kesenian bukan sekadar warisan simbolik, melainkan identitas yang mengandung nilai luhur, kearifan lokal, dan sejarah panjang peradaban Minangkabau.
Sudutpayakumbuh.com kemudian mewawancarai Yudilfan Habib Dt. Monti, seorang pemuka adat Nagari Tanjung Haro Sikabu-Kabu Padang Panjang yang juga mantan wartawan. Di beranda rumah gadangnya, ia menanggapi dengan penuh apresiasi. “Sebagai pemangku adat, saya sangat mengapresiasi kegiatan tersebut. Sebab dengan demikian tentu terjadi pewarisan sebahagian pengetahuan di Minangkabau, khususnya dalam bidang makanan jenis jajanan klasik yang biasanya tampil hanya pada perayaan hari-hari besar keagamaan saja. Walau pun saat ini kalamai sudah menjadi industri kuliner rumahan, namun secara spesifik tentu beda dengan yang asli di kampung-kampung, bahkan di setiap rumah tangga di dalam nagari,” ujar pria yang dahulunya berprofesi sebagai wartawan itu.
Di akhir percakapan, Datuak Monti menutup dengan nada harapan yang dalam. “Harapannya, tentu saja berkeinginan agar kegiatan ini berkesinambungan dan menggelar kegiatan yang lebih besar bernuansa budaya adat dan kesenian, terutama isian tentang pewarisan pengetahuan pada budaya dan adat Minangkabau seluas-luasnya. Sebab, pewarisan adalah hal penting untuk tetap menyatakan bahwa adat dan seni Minangkabau masih ada dan terpakai.” tutupnya ketika ditanya pada (16/10/25).
Di zaman serba digital, suara seperti milik Dt. Monti seolah mengingatkan: budaya bukan semata cerita masa lalu, tetapi napas yang mesti terus dijaga agar tak padam di tengah hembus angin modernitas.