Categories Berita Sudut

Simpang Napar: Persimpangan Kenangan dan Denyut Perjalanan ke Riau

Dulu, sebelum jalan lintas Padang-Pekanbaru diperlebar dan bus-bus modern melintas cepat tanpa menoleh, Simpang Napar adalah denyut nadi perjalanan dan tempat menambatkan ingatan.

Di sanalah, kata Feni Efendi dalam Pajacombo: Sebuah Catatan Perjalanan Bagian, riuh kehidupan kecil bersahutan dengan deru mesin dan suara para agen bus yang berteriak menawarkan tiket ke Duri, Dumai, atau Pekanbaru. Napar menjadi simpul hidup antara yang hendak pergi dan yang baru pulang, antara perantau dan kampung halaman yang senantiasa menunggu.

Pada era 1980-an hingga awal 2000-an, Simpang Napar bukan sekadar titik transit ia adalah ruang sosial yang penuh kisah. Arlen Ara Guci, salah seorang warga yang dikenang Feni dalam bukunya, masih mengingat betul bagaimana ia sering menumpang Bus Sinar Riau atau Yanti Group menuju Duri. “Sebelum bus berangkat, naik dulu orang berjualan batiah dan pengamen yang melantunkan lagu Payokumbuah mak oi… bikin hati terasa iba meninggalkan kampung,” katanya mengenang masa 1994 itu.

Kisah lain datang dari Amin Berhenti Berharap, namanya saja sudah puitis, seperti suasana Napar di tengah keramaian klakson. Ia bercerita bahwa sekitar akhir 1990-an hingga awal 2000, jalanan di simpang itu selalu ramai setiap kali ada acara 17 Agustusan. “Kalau minta sumbangan di jalan, pasti banyak dapat,” katanya sambil tertawa kecil. Masa itu, para pemuda Napar dan Kaniang Bukik menjadikan bus sebagai panggung ekonomi: berjualan gelamai, batiah, kipang, hingga mengamen di atas bus yang melaju pelan menembus kabut pagi.

Sementara itu, Daud Apak Kamba mengingat masa di mana mencari uang di Napar “sangat gampang.” Apa saja bisa dijadikan penghidupan: menjual air mineral, bendera setiap bulan Agustus, hingga sekadar membantu angkat barang penumpang. Lain lagi dengan Novi Warman yang setiap hari sekolah ke STM, naik Bus Gunuang Omeh jurusan Padang dan melompat turun di simpang terminal. “Pulangnya naik bus Pariaman ke arah Pekanbaru, turun lagi di Napar,” ujarnya mengenang rutinitas masa muda.

Feni mencatat, sebelum jalur alternatif dibuka pada 1987, bus Padang Pekanbaru justru melewati Jalan Sudirman. Banyak warga waktu itu menunggu bus di depan Masjid Muhammadiyah atau di Simpang Benteng. Nurfiardi Adhy mengingat masa itu dengan detail, seperti potongan film yang kusam tapi hangat. Sedangkan Dalzuarni Arni, yang sering pulang dari Duri, tak pernah lupa singgah di warung “Bubua Samba Uni Bak En” “Rasanya enak dan murah,” katanya dengan nada nostalgia. Kini, perjalanan Duri Payakumbuh sudah bergeser ke mobil travel; rasa berhenti itu pun ikut hilang.

Yenny Fitri Z, warga Napar yang menyaksikan puncak kejayaannya sekitar 1995–2004, menggambarkan suasana yang penuh kehidupan. “Simpang Napar dulu sangat ramai. Banyak PO Bus ke Pekanbaru, Duri, Dumai, sampai Perawang Yanti Group, Gumarang, Tabek Biru, RNS, semua ada,” kenangnya. Di situ ada pos TPR yang beroperasi 24 jam, agen-agen bus yang sibuk mencatat nama penumpang, tukang ojek yang bersiul, anak jojo yang membantu naikkan barang, pengamen yang bernyanyi tanpa lelah, hingga kedai oleh-oleh yang berjajar rapi menunggu pemudik.

“Kalau seminggu sebelum puasa sampai seminggu setelah lebaran, itu masa panen raya,” tulis Feni. Kedai-kedai harus menambah stok: dari bareh randang hingga kipang. “Barang dibungkus dari pagi sampai malam, kadang ikut bantu di gudang supaya kebagian stok,” kenang Erina, seorang pedagang yang masih bertahan di masa-masa akhir keramaian itu.

Kini, Simpang Napar masih sebuah daerah yang sibuk lalu lintasnya dan ia ditumpahkan dalam Feni sebagai bentuk kenangan dalam buku Pajacombo. Masih ramai agen bus atau pengamen dengan lagu Payokumbuah mak oi tapi tentu suasana tak seperti dulu lagi, hanya sisa-sisa kisah yang tertinggal di ingatan mereka yang sempat menunggu bus di bawah sinar matahari Napar.

Oleh karena itu, Napar bukan sekadar simpang jalan, melainkan simpang ingatan tempat di mana ekonomi rakyat, romantika perjalanan, dan denyut sosial pernah berkelindan dalam satu ruang yang kini perlahan diselimuti sunyi.

(Sumber: Feni Efendi, Pajacombo: Sebuah Catatan Perjalanan Bagian 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *