Syekh Muhammad Sa’ad Al-Khalidi Mungka: Guru dari Syekh Sulaiman Ar-Rasuli ”Inyiak Canduang” dan Ulama Besar Minangkabau Lainnya

Di Mungka, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat, nama Syekh Muhammad Sa’ad Al-Khalidi bergema lirih tapi kuat di kalangan para pencinta ilmu. Sebutan “Baliau Mungka” atau “Baliau Surau Baru” melekat padanya, menandai figur ulama besar yang bukan sekadar pengajar ilmu agama, melainkan sosok yang menanamkan cara berpikir, berzikir, dan bertindak di atas landasan spiritual yang jernih.

Di kalangan para ulama Minangkabau, beliau disebut sebagai Syaikhul Masyaikh, guru dari para guru, gelar yang diberikan bukan karena penghormatan kosong, tetapi pengakuan atas kedalaman ilmu dan keluasan pengaruhnya.

Gelar ini, menurut catatan Buya Sirajuddin Abbas dan Syekh Yunus Yahya Al-Khalidi Magek, disematkan karena Syekh Sa’ad dianggap puncak keulamaan di Minangkabau pada paruh pertama abad ke-20.

Lahir di Koto Tuo, Mungka, dari suku Kutianyia, Syekh Sa’ad tumbuh dalam suasana religius yang kuat. Dari usia muda, semangat menuntut ilmunya menonjol. Ia berguru kepada sejumlah ulama besar Minangkabau seperti Maulana Syekh Abu Bakar Tobiang Pulai Mungka yang juga memberikan ijazah irsyad Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah kepadanya serta Syekh Muhammad Jamil Tungka, “Baliau Tungka” dari Situjuah Tungkar, dan Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandih.

Jalinan keilmuan itu membentuk dasar intelektual dan spiritualnya yang kukuh. Namun, gairahnya tak berhenti di tanah kelahiran. Ia menempuh perjalanan panjang ke Makkah Al-Mukarramah, belajar dari para ulama besar dunia Islam. Di antara gurunya tercatat nama-nama seperti Al-‘Allamah Zawawi, mufti mazhab Syafi’i di Mekkah, Sayyid Muhammad bin Sulaiman Hasbullah Al-Makki, dan Syekh Ahmad bin Muhammad Zain Al-Fatani, seorang ulama terkemuka dari Pattani.

Dua kali ia bermukim di Tanah Suci pertama sekitar tahun 1894 hingga 1898, kemudian antara 1912 hingga 1915. Di sela-sela masa itu, ia juga bersentuhan dengan sejumlah tokoh tarekat dan sufi besar asal Nusantara seperti Syekh Abdul Karim Banten, murid Syekh Ahmad Khatib Sambas; Syekh Abdul Azhim Madura; dan Syekh Abdul Qadir Al-Fathani, pemegang Tarekat Syathariyah. Jejak pergaulan spiritual lintas bangsa itu memperkaya pandangan dan memperdalam komitmennya pada jalan Naqsyabandiyah Khalidiyah.

Sepulang dari Makkah, Syekh Sa’ad mendirikan Surau Baru di kampung halamannya, sebuah bangunan bertingkat dua yang menjadi pusat pendidikan dan spiritualitas. Dari sinilah nama “Baliau Surau Baru” muncul, melambangkan tempat di mana ilmu, zikir, dan tradisi keilmuan Minangkabau bersenyawa.

Di surau itu, ia mengajarkan berbagai disiplin ilmu fiqih, tauhid, tasawuf, ushul fiqih, hingga ilmu mantiq, dengan metode halaqah. Di antara kitab yang diajarkannya adalah Tuhfah al-Muhtaj karya Ibnu Hajar Al-Haytami, kitab besar fiqih mazhab Syafi’i setebal delapan jilid. Tak banyak halaqah di Minangkabau saat itu yang berani menyentuh kitab seberat itu, menandakan kedalaman ilmunya.

Dalam dunia tarekat, Syekh Sa’ad dikenal sebagai pembela gigih Naqsyabandiyah Khalidiyah dari serangan pihak yang menuduhnya bid’ah. Ia bukan hanya mursyid, melainkan tokoh yang mencoba meneguhkan bahwa tarekat bukan sekadar ritual, melainkan jalan penyucian diri yang berpijak pada syariat. Di tangannya, tradisi tasawuf Minangkabau menemukan artikulasi yang kuat dan terhormat.

Murid-muridnya tersebar luas, menjadi ulama berpengaruh di berbagai penjuru Sumatra. Nama-nama seperti Syekh Yahya Al-Khalidi Magek, Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli (pendiri PERTI), Syekh Abdul Wahid Ash-Shalihi Tobek Godang (pendiri PERTI), hingga Syekh Makhudum Solok dan Syekh Jalaluddin Sicincin tercatat sebagai bagian dari lingkaran keilmuannya. Beberapa di antaranya bahkan menjadi tokoh sentral dalam kebangkitan pendidikan Islam di Sumatra Barat.

Syekh Sa’ad bukan hanya pengajar, tapi juga pengarang yang produktif. Ia menulis dalam bahasa Arab dengan kemahiran yang jarang dimiliki oleh ulama Minangkabau sezamannya. Banyak yang menyebutnya mampu menulis nazham secara spontan suatu kemampuan yang bahkan di dunia Arab dianggap langka. Salah satu karya yang masih hidup hingga kini adalah nazham silsilah, yang dibacakan dalam halaqah tawajuh di surau-surau Naqsyabandiyah. Gaya bahasanya padat, bernas, dan menunjukkan kematangan bahasa Arab yang luar biasa.

Kehidupan Syekh Sa’ad dikenal sederhana. Saat berada di sebuah jamuan makan Mekkah, penampilannya yang bersahaja sempat membuat rival debatnya yakni Syekh Ahmad Khatib terkejut; di balik pakaian biasa itu, ternyata tersimpan kecerdasan yang menggetarkan. Ia lebih memilih rendah hati daripada dikenal. Bahkan setelah kembali ke Mungka, ia menolak segala bentuk kemewahan, menjadikan surau bukan hanya tempat belajar, tapi juga rumah bagi mereka yang haus ilmu dan bimbingan rohani.

Setiap Rabu, Surau Baru menjadi tempat berkumpulnya para ulama dari berbagai penjuru Minangkabau. Dalam halaqah itu, Syekh Sa’ad mengupas tafsir, fiqih, hingga tasawuf dengan ketelitian luar biasa. Mereka yang hadir bukan sekadar murid, tapi juga ulama besar yang datang untuk mendengar, berdiskusi, dan belajar kembali. Dari pertemuan-pertemuan inilah lahir generasi penerus ulama Minangkabau yang kelak mengisi berbagai pesantren dan surau di Sumatra.

Kecakapan logika dan penguasaan ilmu alat membuatnya disegani. Ia dikenal sangat teliti dalam menilai hujjah setiap perdebatan selalu ditimbang dari segi nahwu, sharaf, dan logika sebelum dijawab. Banyak yang mencoba membantah pandangannya, tapi justru mendapati dalil mereka dibalik menjadi penguat hujjah Syekh Sa’ad sendiri. Ketajaman pikirnya membuat para ulama menyebutnya “singa dalam ilmu, tapi merpati dalam sikap.”

Syekh Sa’ad juga dikenal sebagai salah satu sedikit ulama yang benar-benar menguasai kitab besar seperti Tuhfah al-Muhtaj dan Nihayah al-Muhtaj karya Imam Ramli. Ia tak sekadar membaca, tapi menafsirkan bagian-bagian pelik dalam kitab itu dengan argumentasi yang rapi. Hingga kini, sebagian kitab-kitab itu masih tersimpan di sebuah ruangan di komplek Surau Baru, berdebu dan lusuh, menjadi saksi bisu betapa hidupnya tradisi intelektual di masa itu.

Dalam catatan sejarah keulamaan Nusantara, posisi Syekh Sa’ad sejajar dengan para guru besar Islam dari Jawa dan Madura seperti Syekh Mahfuzh Tremas, Syekh Khalil Bangkalan, dan Syekh Ahmad Muhtarom Banyumas, para mahaguru yang menjadi inspirasi bagi pendiri Nahdlatul Ulama. Ia satu thabaqat dengan mereka, satu gelombang generasi ulama yang membawa napas Islam yang mendalam dan berakar.

Ketika meninggal pada Rabu, 23 Rabi’ul Awwal 1340 H (sekitar 1922 M), Syekh Sa’ad meninggalkan warisan yang sulit tergantikan. Ia dimakamkan di samping Surau Baru, tempat yang menjadi pusat hidup dan perjuangannya.

Di dalam kubah makamnya kemudian disemayamkan pula anaknya, Syekh Muhammad Jamil Sa’adi, dan di depan kubah itu murid kesayangannya, Syekh Ahmad Nawawi Banja Loweh. Hingga kini, surau itu masih berdiri dalam bentuk peruntukan Masjid umum, meski sebagian besar kitab dan karangan beliau mulai dilupakan oleh zaman.

Namun, bagi mereka yang masih mencari jejak spiritual Minangkabau, nama Syekh Sa’ad tetap hidup dalam zikir para murid tarekat, dalam nazham yang dibaca perlahan di malam hari, dan dalam ingatan kolektif masyarakat Mungka. Sosoknya menjadi simbol persilangan antara tradisi intelektual Islam klasik dan kearifan lokal Minangkabau. Ia ulama yang berpikir dengan nalar tajam, tapi berhati lembut; seorang sufi yang tak melarikan diri dari realitas sosial, melainkan menyelaminya dengan pandangan tauhid yang utuh.

Kini, seratus tahun lebih setelah kepergiannya, jejak Syekh Sa’ad masih terasa di banyak surau dan pesantren Sumatera Barat. Warisannya bukan hanya pada teks dan tarekat, tapi pada nilai bahwa ilmu harus dibarengi adab, zikir tak boleh meniadakan pikir, dan perjuangan batin tak pernah bertentangan dengan perjuangan sosial. Dalam lanskap panjang sejarah Islam Nusantara, nama Syekh Muhammad Sa’ad Al-Khalidi Mungka berdiri sebagai simbol: ulama Minangkabau yang mengajarkan bahwa kebesaran sejati bukan pada popularitas, tetapi pada kedalaman makna.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *