Hari ini di Istana Negara, Jumat 7 November 2025, nama Hajjah Rahmah El Yunusiyah dianugerahi oleh Presiden Prabowo Subianto sebagai satu dari sepuluh tokoh yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Dari deretan nama yang diumumkan, sosok perempuan asal Padang Panjang, Sumatra Barat, itu menimbulkan gelombang rasa haru dan kebanggaan tersendiri. Ia bukan hanya guru, bukan sekadar ulama perempuan, tapi adalah figur yang menembus batas-batas zamannya, seorang reformator pendidikan Islam yang memberi ruang bagi perempuan untuk berpikir dan berdaya di masa ketika suara mereka nyaris tak terdengar.
Di antara berlapis kisah perjuangan hidupnya, ada satu episode yang menegaskan kemanusiaan Rahmah di atas segalanya: Tragedi Kereta Api di Lembah Anai pada 25 Desember 1944. Peristiwa itu dikenang sebagai salah satu kecelakaan kereta terburuk dalam sejarah Hindia Belanda, bahkan disebut menempati peringkat ketujuh dunia pada masanya. Sekitar dua ratus jiwa melayang, ratusan lainnya terluka, dan suasana Padang Panjang hari itu berubah menjadi duka yang pekat. Bau darah bercampur besi, tangis kehilangan memecah udara dingin pegunungan.
Di samping itu, tragedi ini diwarnai dengan sulitnya proses evakuasi dan medan yang berat, menambah rintihan tangisan itu. Yudi pernah berkisah pada suatu waktu, seorang pemuda asal Pariaman, dia menyatakan bahwa kakeknya merupakan salah satu dari korban selamat pada tragedi itu, ia bertutur ketika itu kakeknya masih bayi, dan berumur 6 bulan dan selamat pada tragedi itu.
Ketika kabar malapetaka itu tiba, Rahmah tak berdiam diri. Ia memerintahkan para murid dan guru di sekolah yang didirikannya, Diniyah Puteri, untuk segera membuka pintu kelas dan menjadikannya rumah sakit darurat. “Bawa dunsanak-dunsanak kami itu ke sini. Diniyah Puteri saya jadikan rumah sakit sekarang, kalian semua, anak-anakku, siapkan tempat tidur, kasih bantal, selimut, jika tak cukup, kembangkan tikar, di mana saja, di ruang kelas ini. Tuhan memanggil kita menolong sesama.” setidaknya itu yang dikatakan oleh Rangkayo Rahmah El Yunusiyah, pendiri Diniyah Puteri, Padang Panjang.
Rahmah walau bukan dokter tapi ia belajar ilmu kedokteran dari 3 dokter handal Minangkabau. Dan bahkan Mak Uwonya juga merupakan seorang bidan pada masa itu.
Dalam hitungan jam, ruang-ruang belajar berubah menjadi tempat perawatan, tikar digelar di lantai, selimut dijadikan alas luka, dan doa dipanjatkan di sela rintih korban.
Dengan ketenangan yang khas, ia memimpin para siswi muda menangani korban yang berdarah dan patah tulang. Ketika rumah sakit darurat itu penuh, ia memerintahkan agar korban lain dibawa ke Padang dan Bukittinggi. Di tengah keterbatasan, Rahmah menyalakan obor empati. Ia mengubah sekolah perempuan Islam pertama di Nusantara itu menjadi simbol solidaritas dan kemanusiaan.
Sebagian korban yang tak tertolong kemudian dimakamkan bersama di tanah milik ulama Syekh Adam, di kawasan Padang Panjang. Kuburan massal itu dikenal sebagai Pusaro Dagang, tempat peristirahatan terakhir bagi para pendatang yang meninggal di tanah rantau. Ribuan orang menyaksikan penguburan itu dan di tengah kepedihan, nama Rahmah disebut-sebut dengan hormat. Ia tak hanya mengajarkan akhlak, tapi juga meneladankannya dengan tindakan nyata.
Namun Rahmah El Yunusiyah bukan hanya dikenal karena empatinya di tengah tragedi. Ia adalah pelopor gerakan pendidikan Islam bagi perempuan yang lahir dari keyakinan sederhana: perempuan harus memiliki ilmu agar bisa mendidik generasi dengan nalar dan keimanan. Pada 1 November 1923, ia mendirikan Madrasah Diniyah Puteri di Padang Panjang sebuah langkah revolusioner pada masa ketika pendidikan agama hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Bermula dari 71 murid yang kebanyakan ibu rumah tangga muda, pelajaran diberikan tiga jam setiap hari di sebuah surau di Pasar Usang.
Dari ruang kecil itu, Rahmah menabur gagasan besar: perempuan harus berilmu agar dapat berdikari, menjadi ibu pendidik yang sadar tanggung jawab sosial dan kebangsaan. Ia bukan sekadar mengajarkan baca tulis atau fikih dasar, tapi juga semangat kebangsaan, kesehatan, keterampilan rumah tangga, dan manajemen kehidupan. Ia percaya, mendidik perempuan berarti mencerdaskan bangsa dari akar.
Prinsipnya teguh, terutama terhadap intervensi kolonial. Ketika pemerintah Belanda menawarkan bantuan dengan syarat madrasahnya berada di bawah pengawasan mereka, Rahmah menolak mentah-mentah. “Ilmu tak boleh tunduk pada kekuasaan,” begitu prinsip yang ia pegang. Ia khawatir kurikulum pendidikan Islam akan disusupi ide kolonial yang mematikan kemandirian intelektual kaum perempuan.
Sikap tegas itu membuat Rahmah dihormati, tapi juga diawasi. Ketika Jepang menduduki Indonesia, ia mengungsikan seluruh muridnya ke daerah aman dan menanggung seluruh kebutuhan mereka. Di masa sulit itu, Rahmah bukan hanya pendidik, tapi pelindung. Ketika banyak sekolah Islam ditutup, Diniyah Puteri tetap hidup, walau dalam kesunyian dan kesederhanaan.
Dedikasinya pada pendidikan tak pernah padam hingga akhir hayat. Ia bercita-cita mendirikan perguruan tinggi khusus perempuan, lengkap dengan rumah sakit dan asrama. Sebagian cita-cita itu terwujud ketika Diniyah Puteri kemudian membuka Fakultas Dirasah Islamiyah sebuah capaian monumental untuk lembaga yang dibangun dari semangat gotong royong dan idealisme.
Pada 1957, pengakuan datang dari luar negeri. Senat Guru Besar Universitas Al-Azhar, Kairo, menganugerahkan gelar Syaikhah kepadanya gelar kehormatan yang belum pernah diberikan kepada perempuan manapun sebelumnya. Dunia Islam menoleh pada Padang Panjang, pada madrasah di kaki Gunung Marapi dan Gunung Singgalang yang dirintis oleh seorang perempuan yang menolak menyerah pada garis takdir budaya patriarkal.
Kini, delapan dekade setelah ia membuka ruang belajar pertamanya, negara akhirnya mengabadikan nama Rahmah El Yunusiyah dalam daftar Pahlawan Nasional. Pengakuan yang datang mungkin terlambat, tapi relevansinya tak pernah usang. Di tengah zaman yang sibuk mengejar gelar, Rahmah memberi teladan tentang makna sejati pendidikan: membebaskan manusia dari kebodohan dan ketakutan.
Dari balik nisan di Padang Panjang, warisan Rahmah masih berdenyut di tiap langkah siswi Diniyah Puteri yang menapaki dunia dengan ilmu dan keberanian. Ia telah menulis bab penting dalam sejarah perempuan Indonesia bukan dengan tinta, tapi dengan keberanian yang tak lekang waktu.
