Di Payakumbuh, pasar bukan hanya tempat jual-beli. Ia juga ruang di mana sisa-sisa sejarah bernafas, di mana wajah-wajah letih bangsa yang baru merdeka mengendap bersama aroma sayur busuk dan roti basi. Sejak lama, kata Feni Efendi dalam Pajacombo: Literatur Tentang Tanah Payau, “orang-orang gila di Pasar Pajakoemboeh dari dulu sampai sekarang telah ada.” Mereka berjalan tanpa arah, tidur di depan toko-toko kosong, atau duduk di tepi trotoar sambil menatap langit yang suram.
Sekilas, mereka tampak seperti bayangan yang tak sempat ikut berpesta kemerdekaan. Pada tahun 2019, Wali Kota Payakumbuh sempat mengirim sebagian dari mereka ke Rumah Sakit Gadut, berharap kota bisa bernapas lebih lega. Tapi beberapa bulan kemudian, wajah-wajah baru muncul lagi seolah kegilaan tak pernah benar-benar pergi dari pasar itu.
Puluhan tahun sebelumnya, di masa revolusi, suasananya jauh lebih getir. Kota yang pernah menjadi jalur penting antara Bukittinggi dan pesisir itu seperti kehilangan denyut setelah Jepang angkat kaki. “Tatanan kehidupan masyarakat di kota ini sangat berat setelah ditinggalkan oleh Jepang,” tulis Feni. Banyak yang kehilangan semangat hidup, banyak pula yang tersesat di batas waras dan gila.
Dalam salah satu catatan yang dikutip Feni, wartawan dan penulis Muhamad Radjab pernah mewawancarai dokter Adnan WD di Payakumbuh pada November 1947. Wawancara itu terekam dalam buku Catatan Sumatera (1949). dr. Adnan digambarkan Radjab sebagai “seorang yang periang, suka berkelakar, badan beliau yang gemuk bagaikan padat oleh kegembiraan yang tiada surut-surutnya; tetapi di samping itu, dr. Adnan agresif bila mengemukakan keyakinan, terutama dalam soal agama.”
Ketika ditanya tentang pasien rumah sakit di Payakumbuh, Adnan menjawab tanpa tedeng aling-aling: “Kebanyakan mereka menderita penyakit jiwa karena kesengsaraan materieel, dan orang-orang yang sakit badannya, karena jiwanya kurang kuat menderita kesengsaraan, yang payah dilawan.” Ia menyebut, akar penyakit itu bukan kutukan atau sihir, tapi ekonomi yang remuk. Sejak Jepang menyerah, banyak rakyat mengungsi dari daerah pertempuran ke pedalaman. Hidup terombang-ambing di negeri yang belum sempat menata dirinya.
Radjab kemudian menyinggung agama, apakah ia sanggup menolong batin yang lelah? Adnan menjawab tegas: “Agama yang diajarkan guru-guru kini tidak meringankan penderitaan mereka. Juga guru-guru agama itu tidak sanggup memberi pengertian kepada pengikutnya, mengapa orang banyak susah… selainnya sabar menderita saja.”
Feni menulis ulang penggalan itu dengan nada lugas, seolah menggambarkan masa di mana ajaran spiritual kehilangan daya menyembuhkan. “Agama sekarang,” kata Adnan dalam wawancara itu, “tidak lebih dari upacara lahir, yang tidak berisi, dan tidak memberi penganutnya kesadaran tentang kehidupan yang sulit… hingga orang yang beragama dan yang tidak, sama pandir dan bingung dalam menghadapi keadaan hidup.”
Payakumbuh pada masa itu bukan hanya kota kecil di pedalaman Sumatra Barat; ia adalah potret bangsa yang baru merdeka tapi belum benar-benar bebas. Di pasar itu, Radjab melihat pemandangan yang membuatnya tercekat: “Banyak benar perisau (orang gila) yang berkeliaran, dan malam tidur di serambi toko-toko.” Ketika ia mengira mereka bekas romusha yang malang, warga lokal membantah. Mereka adalah bekas hartawan. Orang-orang yang “karena pongah terhadap orang-orang di sekelilingnya, atau karena mulutnya tajam terhadap orang-orang di sekelilingnya, mereka disihir oleh seorang dukun.”
Feni menulisnya dengan gaya setengah tak percaya, antara takhayul dan realitas sosial. Di Minangkabau, cerita tentang sihir memang belum lenyap sepenuhnya. Mereka yang dulu hidup dalam kelimpahan kini berkeliaran tanpa arah, berpakaian compang-camping, mengemis di pasar. Hartanya habis di tangan kerabat yang katanya “mengurus.” Sebagian mencoba dibawa pulang, tapi “si malang yang kena sihir ini tidak beringatan lagi akan hidup seperti dulu.”
Ada pula kisah yang lebih menegangkan: seseorang menjadi gila karena kalah dalam perebutan cinta. “Karena ia mengawini seorang gadis yang sedang dicintai oleh seorang laki-laki lain… laki-laki yang malang itu meminta pertolongan dukun supaya menyihir saingannya.” Begitu saingan itu jatuh gila, perempuan yang diperebutkan pun dinikahinya.
Di antara para perisau itu, Radjab juga bertemu dengan seorang labai, seorang alim yang kehilangan akal karena terlalu tekun belajar fikih. “Bila sudah gila,” tulisnya, “ia tidak senang tinggal di surau lagi, tetapi bertualang di seluruh kota Payakumbuh sambil mengepit sebuah kitab fikih yang tebal.” Ironinya pahit: di kota yang dialiri Batang Agam yang jernih, labai itu berjam-jam berbicara soal tayamum bersuci dengan pasir kepada orang-orang yang lalu-lalang.
Kita dapat menterjemahkan bahwa fenomena ini bukan sekadar potret masa lalu. Ia adalah refleksi sosial tentang betapa cepat waras bisa berubah jadi gila, dan betapa tipis batas antara keyakinan dan kesesatan ketika kehidupan sedang runtuh. Ia menutup bagiannya dengan catatan lirih namun tajam: sihir mungkin berkurang di Minangkabau, tapi penderitaan manusia tak pernah benar-benar surut. “Kesukaran hidup sehari-hari,” tulisnya, “memalingkan perhatian manusia dari kepandaian gaib yang mewah itu.”
Pasar Pajakombo atau katakanlah hari ini lebih dikenal dengan Payakumbuh, mungkin sudah tak lagi sama. Namun, dalam ingatan kolektif yang disusun Feni Efendi di bukunya yang berjudul “Pajacombo: Literatur Tentang Tanah Payau”, bagian 1, hlm. 194–196, jelas bahwa ada aroma kemiskinan, bayangan kegilaan, dan kisah para perisau itu tetap berputar di udara seperti gema sejarah yang enggan pergi dari tanah payau ini.
