Lampasi: Jejak Para Perambah, Asal-Usul, dan Ingatan Nagari yang Ada di Masa Lalu

Tidak banyak daerah lahir dari sebuah kesalahpahaman kecil yang kemudian menjelma menjadi identitas kultural berabad-abad lamanya. Lampasi adalah salah satunya. Nama yang kini melekat pada wilayah Lampasi Tigo Nagari di Payakumbuh itu konon bermula dari selisih adat: tiga kemenakan koto yang ingin mendirikan nagari, tetapi meminjam istilah adat membayar lebih dari seharusnya. “Lah talampau isi”, begitu orang dulu menyebutnya. Kalimat itu lama-lama mengecil, merapat, hingga menjadi sebuah nama: Lampasi.

Cerita ini bukan sekadar perihal asal nama. Ia adalah pintu pembuka menuju bentangan sejarah migrasi, pertumbuhan nagari, perang kecil yang membuat orang mengungsi, dan usaha manusia menghidupkan kembali tanah yang pernah ditinggalkan. Di lapisan yang lebih halus, ini adalah kisah tentang bagaimana ingatan kolektif bertahan melalui tambo, lisan, dan baris-balabeh sebuah bentuk arsip budaya Minang yang menyimpan sejarah tanpa kertas.

Pada mulanya, Parambahan, Koto Panjang, dan Sungai Durian masih berada dalam lingkup kemenakan koto dari Nagari Simalanggang Sapuluh Koto. Ketika ketiga anak koto itu hendak memisah dan membentuk nagari sendiri, lengkap dengan adat dan limbago, terjadilah peristiwa yang menjadi dasar nama Lampasi. Orang-orang tua menceritakan ilustrasi sederhana: seandainya mengisi adat lazimnya dengan satu emas, tiga kemenakan koto ini justru membayar sepuluh. Maka orang adat menyimpulkan: mereka “telah terlampau isi” berlebih dari kebiasaan. Dari situlah, kata Lampasi muncul dan melekat hingga hari ini (Dt. Marajo Indo Nan Mamangun, 2019).

Jika Simalanggang Sapuluh Koto adalah satu rumah besar, maka rumah itu bertingkat. Orang dulu membaginya dalam kategori genealogis: tigo di ateh, Koto Tongah, Tambun Ijuak, Kapalo Koto; tigo di suduik Koto Baru, Parumpuang, Tobek Panjang; tigo di tongah, Simalanggang, Balai Rupih, Batu Nan Limo; dan tigo di baruah Sungai Durian, Parambahan, Koto Panjang. Ketiga nama terakhir itulah yang kelak membentuk wilayah Lampasi Tigo Nagari.

Nagari Parambahan adalah babak pertama dari kisah Lampasi yang menarik disimak. Dalam buku Pajacombo: Literatur Tentang Tanah Payau karya Feni Efendi, bagian pertama pada halaman 90–94, persis disebutkan bahwa Parambahan dulunya bernama Pantai Comin.

Daerah itu adalah tanah teroka yang didatangi orang-orang dari Koto Pudiang (Simalanggang). Dari teratak, berkembang menjadi dusun, lalu koto. “Taratak pertama yang dibuka oleh masyarakat Koto Pudiang adalah Kubang Otok Tunggua, kalau dusun adalah Pantai Comin dan lalu berdirilah sebuah koto yang bernama Lobuah Gombuang dan berpadang ke Padang Aua,” begitu bunyi catatan sejarah adat.

Tidak ada sejarah yang tumbuh tanpa ancaman. Ketika pertanian mulai maju, penduduk makmur, dan sawah ladang menghampar, Pantai Comin diserang rombongan pendatang dari selatan. Serangan itu memaksa orang kampung kembali ke Koto Pudiang tempat asal mereka. Sejak itu, tanah yang dulu subur terbiar lama, perlahan kembali menjadi rimba.

Namun manusia tak selamanya tunduk pada ketakutan. Rombongan baru kembali datang dari Koto Pudiang untuk membuka hutan. Pemimpin mereka adalah Dt. Damuanso. Pemukiman pertama mereka dibangun di Solok Parupuak, yang kemudian disebut Tanah Datuak Nagari. Mereka mendirikan parit tinggi sebagai benteng pada batas selatan, berhadapan dengan wilayah Nagari Koto Nan Empat. Ketika sedang merambah, pemimpin mereka terinjak bekas rambahan yang tajam sebuah insiden kecil yang tercatat kuat dalam ingatan kolektif. Sejak saat itu, nama Pantai Comin ditanggalkan; diganti menjadi Parambahan nama yang kini resmi menjadi nagari.

Parambahan adalah satu dari kemenakan nan bertiga bersama Sungai Durian dan Koto Panjang. Ninik mamak yang mewakili tiga nagari itu disebutkan jelas di tambo: Dt. Damuanso dari Parambahan, Dt. Bosa Dirajo dari Sungai Durian, dan Dt. Majo Dirajo dari Koto Panjang. Adapun batas-batas Nagari Parambahan diguratkan dalam bahasa adat yang padat dan puitis: “di rusuak Padang Baringin sajak Padang Parupuak ilie, sahinggo Sawah Liek mudiak dirusuak parik paga ronah jo sondi, Sikobau Rondah jo Cibodak Bungkuak, Kandang Dalam jo Koto Kociak, toruh ka kubu Kubang Duo, belok ka tolang Padang Parupuak, balimbiang godang ka Taeh Jantan, porak jonieh ka Sawah Liek.” Teks batas itu adalah peta emosional masyarakat adat: garis imajiner yang tak pernah tergambar di kertas, namun dihafal oleh para pewaris.

Kisah berikutnya datang dari Koto Panjang Lampasi. Menurut barih balabeh yang tercatat dalam buku Barih Balobeh 10 Nagori di Kota Payakumbuh (Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Payakumbuh, 2019), wilayah Koto Panjang Lampasi bermula dari “Kubang Juaro Batu di mudiak sampai ka ilie ka Koniang Bukik.” Seiring pertambahan penduduk, garis wilayah semakin melebar: dari Kubang Juaro Batu turun ke ilie subarang Batang Lampasi, ke Koniang Bukik, dan kembali melingkar ke Padang Parupuak.

Koto Panjang tidak lahir dari satu rombongan tunggal. Ia dibangun oleh arus migrasi kecil bertubi-tubi, ada orang Koto Baru, Simalanggang, Belubus, Sariak Laweh, Kubang, Jopang Manganti, dan daerah lainnya. Tanah basah menjadi sawah, tanah kering dijadikan ladang, dan bukit keras menjadi tempat dangau untuk para peladang. Jejak genealogis masih mudah dilacak: dari masjid Al-Ihsan ke hilir adalah keturunan yang turun dari Koto Baru dan Simalanggang; ke arah mudiak adalah keturunan yang turun dari Belubus, Sariak Laweh, Kuranji, dan beberapa daerah lainnya. Koto Panjang pada mulanya hanya teratak, lalu dusun, kemudian koto, sebelum akhirnya menjadi nagari.

Satu cerita lagi yang menghiasi Lampasi Tigo Nagari adalah tentang Sungai Durian. Dalam versi tambo yang sama, disebutkan bahwa wilayah itu berawal dari sebuah simpang bernama Simpang Maro. Di sana terdapat Pakan Ambek, sebuah pasar akad tempat orang-orang Simalanggang Sapuluh Koto datang berbelanja kebutuhan rumah tangga. Nama Sungai Durian sendiri lahir dari sebuah insiden sederhana namun epik: hanyutnya durian gadang dari Batu Hampar.

Begitu mendengar kabar ada durian luar biasa besar hanyut di sungai, orang-orang dari Simpang Maro turun beramai-ramai. Ada yang membawa sabit, ada yang membawa parang, merambah semak dan kayu untuk mencari si durian raksasa. Lama mereka menunggu, wajah dan bibir mulai pasi karena kedinginan dan lapar. Ketika hari larut mereka pulang, “pasi” itu melekat sebagai panggilan. Lama-lama berubah menjadi Lampasi dan sungainya disebut Batang Lampasi.

Besoknya, durian akhirnya ditemukan tersangkut di Baromban Kincir. Durian itu diarak keliling nagari. Tempat simpang itu kemudian disebut Sungai Durian. Namun informasinya tak lengkap, sebagaimana dicatat ulang dalam Pajacombo. Tidak ada keterangan definitif mengenai datuk empat suku, teratak pertama, kampung pertama, koto pertama, dan suku pertama yang menghuni wilayah itu. Kekurangan informasi itu adalah tanda bahwa tambo masih hidup masih menunggu orang yang ingin merapikannya.

Jadi apabila ditilik dari ingatan masa lampau, pada akhirnya Lampasi bukan sekadar nama yang berhenti pada toponimi. Daerah ini juga mosaik dari migrasi, konflik, pertanian, pengungsian, kembalinya manusia ke tanah, dan identitas adat yang perlahan mengeras membentuk nagari. Sejarahnya bergerak melalui mulut dari mamak ke kemenakan, dari surau ke lapau, dari pembuka ladang kepada penunggu sawah modern.

Di antara hal paling menarik dari tambo Lampasi adalah cara ia menyimpan kesan masa lalu: nama tempat bisa muncul dari sebuah luka kaki, serangan dari selatan, hasil sawah yang hilang karena pengungsian, sampai perburuan durian besar yang tak kunjung ditemukan.

Ketika sejarah besar dunia mencatat kerajaan dan perang, Lampasi menaruh perhatian pada hal-hal yang lebih dekat: jejak kaki, parit perlindungan, padang padi, atau buah yang hanyut di sungai. Namun justru melalui detail itu, ingatan Lampasi bertahan. Ia menjadi dokumen kolektif yang tak pernah sepenuhnya selesai selalu menunggu untuk diceritakan ulang agar tetap hidup.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *