Di antara bukit-bukit hijau Sumatra Barat, masyarakat Minangkabau hidup dalam harmoni yang telah teruji oleh waktu. Mereka bukan sekadar kumpulan individu yang berbagi ruang geografis, melainkan jaringan sosial yang tertaut oleh darah, adat, dan kesadaran kolektif.
Dalam karyanya Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau, A.A. Navis menggambarkan bahwa masyarakat Minang hidup “bergolong-golongan dan berkelompok-kelompok,” di mana ikatan utamanya adalah garis keturunan dari ibu sebuah sistem kekerabatan matrilineal yang menempatkan perempuan sebagai poros genealogis kehidupan sosial.
Bagi Navis, sistem kekerabatan itu bukan sekadar struktur sosial, tetapi juga metafora tentang keseimbangan. Ia menulis, kehidupan sosial orang Minangkabau “laksana air telaga yang tenang dijatuhi sebuah benda,” membentuk riak-riak yang saling berbaur namun tak pernah kehilangan sumbernya. Dalam analogi itu, tampak bagaimana masyarakat Minang hidup dalam pola yang dinamis, berinteraksi dan berasimilasi tanpa meniadakan identitas asal.
Tiap golongan adalah lingkaran riak yang saling bersinggungan, tapi tetap menjaga pusat makna: garis ibu sebagai penanda kontinuitas budaya.
Pada tataran sosial, Navis memotret masyarakat Minangkabau sebagai bentuk komunitarian yang hidup dalam sistem berlapis. Dari teratak hingga nagari, dari dusun kecil hingga pemukiman besar, setiap lapisan sosial terhubung melalui mekanisme integrasi dan asimilasi. Namun, integrasi itu bukan hasil paksaan kekuasaan, melainkan ekspresi kesadaran sosial yang tumbuh alami. Dalam istilah sosiologis, inilah wujud kohesi sosial yang terbentuk oleh nilai adat dan kolektivitas.
Menariknya, Navis mencatat bahwa kejayaan sebuah nagari tidak pernah diukur dari luas wilayah atau kesuburan tanahnya. “Kemakmuran,” tulisnya, “lahir dari aktivitas warganya.” Di tanah yang sempit, masyarakat Minang mencipta industri kerajinan dan perdagangan yang ulet; di tanah yang subur, mereka menumbuhkan pertanian yang makmur. Filosofi ini menegaskan etos kerja rasional yang sejalan dengan prinsipbetos merantau, yakni keberanian meninggalkan tanah asal untuk mencari makna hidup dan penghidupan di tempat lain.
Fenomena merantau bagi Navis bukan pelarian, tapi adalah bentuk ekspansi budaya yang damai. Di rantau, orang Minang membangun lembaga sosial dan adat baru tanpa menaklukkan atau menjarah. Tak ada catatan sejarah tentang peperangan antar-nagari atau penaklukan terhadap nagari lain. Dalam perspektif antropologi budaya, ini merupakan bentuk resolusi konflik non-kekerasan yang mengakar dalam falsafah hidup mereka: “alam takambang jadi guru.” Alam mengajarkan, bahwa kekuatan sejati bukan pada kekuasaan, melainkan pada kemampuan beradaptasi.
Navis menulis Minangkabau bukan sebagai nostalgia, melainkan sebagai sistem sosial yang modern dalam jiwanya. Di tengah dunia yang terus bergolak, falsafah mereka terasa relevan: hidup harus lentur seperti air, mengalir di antara riak-riak perbedaan tanpa kehilangan sumbernya sendiri.
Sumber utama: A.A. Navis, “Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau,”
