Categories Berita Sudut

Apa Itu Eat The Rich? Ini Jawaban Ferry Irwandi

Ferry Irwandi membuka videonya dengan nada setengah bercanda, tapi sekaligus menggoda nalar publik. “Bang, hati-hati, nanti lu dimakan,” begitu katanya menirukan pesan seorang pengikut di media sosial. Kalimat itu muncul setelah ramainya perbincangan tentang slogan “Eat The Rich” di linimasa X (Twitter).

Bagi pria kelahiran Jambi tersebut, itu adalah pintu masuk untuk membedah persoalan serius: ketimpangan sosial yang semakin lebar dan rasa keadilan yang kian terkikis dalam tubuh masyarakat modern.

Di video berdurasi hampir sepuluh puluh menit itu, Ferry tidak tampil seperti orator politik atau ekonom yang berkhotbah di podium akademis. Ia berbicara dengan bahasa yang cair, bahasa bayi, dan kadang diselipi humor khas anak muda, namun dengan alur argumentasi yang tertata. “Kita bahas dengan bahasa sederhana,” ujarnya, “supaya semua orang bisa paham.” Tetapi di balik kesederhanaan itu, analisis Ferry justru menunjukkan kedalaman konseptual. Ia mengurai akar sejarah, teori sosial, hingga biologi evolusioner untuk menjelaskan satu kalimat yang pernah diucapkan filsuf Prancis Jean-Jacques Rousseau: “When the people shall have nothing more to eat, they will eat the rich.”

Menurut Ferry, pernyataan Rousseau bukan sebatas metafora kemarahan, tapi juga refleksi atas krisis sosial di masa Revolusi Prancis ketika rakyat kelaparan sementara kaum bangsawan berpesta di istana. Ia menyebut Eat The Rich sebagai simbol perlawanan kelas bawah terhadap elite yang dianggap serakah. “Secara teori, ini menunjukkan problem income inequality dan wealth concentration,” katanya. “Ketika kesenjangan makin lebar, kepercayaan sosial runtuh, stabilitas politik goyah.”

Bagi alumnus STAN itu, kondisi semacam itu bukan hanya masalah moral, tapi juga persoalan ekosistem sosial. Ia mengaitkannya dengan naluri dasar manusia untuk bertahan hidup. “Kalau lu lapar, sakit, sementara di sebelah lu orang hambur-hamburin duit buat kemewahan, ya akhirnya muncul mekanisme seleksi alam dari keseimbangan distribusi sumber daya,” tuturnya. Dengan gaya khasnya yang langsung dan to the point, Ferry menjelaskan bahwa dalam situasi ekstrem, masyarakat akan mengekspresikan kemarahan kolektif sebagai bentuk survival mechanism.

Dalam istilahnya, ini adalah “seleksi alam sosial” sebuah mekanisme alamiah yang muncul ketika distribusi kekayaan sudah terlalu timpang.

Pandangannya kemudian menukik ke peran negara. Menurutnya, pemerintah harus menjadi penjaga keseimbangan agar “naluri memakan orang kaya” itu tak berubah menjadi kenyataan sosial. Ia menyebut fungsi pemerintah sebagai pengatur kebijakan yang mampu mencegah ketimpangan ekstrem. “Kalau sudah sampai titik itu,” katanya, “sifat naluriah masyarakat akan sulit dikendalikan.” Di sisi lain, Ferry juga menegaskan bahwa slogan Eat The Rich bukan ancaman, tapi peringatan dini bagi kalangan kaya agar tidak abai terhadap realitas sosial di sekitarnya. “Jangan pikir lu aman seratus persen,” ujarnya. “Kita hidup dalam ekosistem yang bereaksi.”

Dalam video itu, Ferry merangkai penjelasannya dalam tiga fondasi besar: evolusi, ekonomi, dan game theory. Ia menyebut bahwa secara evolusioner, manusia memiliki kecenderungan alami untuk menolak ketidakadilan. Ia menyinggung eksperimen klasik ultimatum game sebuah riset psikologi ekonomi yang menunjukkan bahwa manusia rela kehilangan keuntungan pribadi demi menghukum pembagian yang tidak adil. Fenomena ini disebutnya altruistic punishment, hukuman altruistik yang menandakan bahwa rasa keadilan sosial tertanam dalam naluri manusia. “Kalau norma keadilan gagal ditegakkan institusi,” jelasnya, “masyarakat akan balik ke mekanisme informal: shaming, boikot, protes, sampai revolusi.”

Ferry mengibaratkan Eat The Rich sebagai bentuk homeostasis sosial cara organisme sosial memulihkan keseimbangannya. Ia lalu mengaitkan hal itu dengan faktor ekonomi struktural yang membuat kekayaan melekat pada segelintir elite. Salah satunya, hukum klasik ekonomi: R > G, di mana return on capital lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi. Artinya, pemilik modal akan terus memperkaya diri lebih cepat daripada kelas pekerja. Ia juga menyinggung peralihan kekayaan ke bentuk aset tak berwujud seperti intangible capital dan praktik finansialisasi global yang membuat kekayaan sulit dikenai pajak.

Di tengah biaya hidup yang meningkat perumahan, pendidikan, kesehatan sementara upah stagnan, rasa ketidakadilan, kata Ferry, “makin terasa eksistensial.” Ia menyebut masyarakat kini berada di titik di mana dunia tampak semakin timpang dan menyesakkan.

Di sinilah, menurutnya, pentingnya game theory untuk memahami perilaku sosial antara elite dan publik. Jika elite memberi sinyal keadilan yang kredibel membayar pajak, berinvestasi di sektor publik, menghindari rent seeking maka masyarakat akan merespons dengan kerja sama. Tapi jika mereka justru memanfaatkan kekuasaan untuk memperkaya diri, masyarakat akan menarik diri dari sistem. “Ketika itu terjadi,” ucap Ferry, “slogan ini bukan cuma simbol, tapi potensi realitas.”

Ia kembali menekankan bahwa Eat The Rich adalah “early warning system.” Jika para elite cukup cerdas, mereka akan membacanya sebagai alarm sosial dan segera melakukan koreksi: memperkuat komitmen moral dan kebijakan redistributif. Sebab, kata Ferry, “stabilitas bukan hasil kebetulan, tapi desain insentif yang benar.” Ia menegaskan bahwa solusi bukan dengan memperdebatkan boleh-tidaknya orang marah kepada orang kaya, tetapi bagaimana menciptakan sistem ekonomi-politik yang adil agar masyarakat tak perlu melawan. “Jangan biarkan orang lapar,” katanya. “Jangan tutup jalan orang menuju kesejahteraan.”

Ferry menutup refleksinya dengan peringatan yang terdengar seperti manifesto moral zaman baru. Ia menyinggung pandemi Covid-19, ketika harga masker melonjak dan orang berebut sumber daya untuk bertahan hidup. “Lu mau ngomong moral berbusa-busa pun, orang bakal tetap beli masker mahal, karena itu cara mereka bertahan hidup,” ujarnya. “Itu balik lagi ke insting manusia.” Bagi Ferry, situasi ekstrem selalu membuka sisi paling purba dari peradaban: naluri mempertahankan hidup yang mengalahkan semua logika hukum dan norma.

Dengan 351 ribu penayangan dalam waktu singkat, video Eat The Rich menjadi sebuah konten yang bukan hanya tontonan, tapi mengajak orang-orang agar refleksi sosial. Ferry Irwandi berhasil menyulap konsep ekonomi politik yang berat menjadi percakapan publik yang ringan, tetapi menggugah. Ia tidak sedang mengajak orang memakan orang kaya, tetapi mengingatkan bahwa ketimpangan, jika dibiarkan, bisa memakan segalanya termasuk kepercayaan, moral, bahkan kemanusiaan itu sendiri.

Sumber utama: Konten YouTube Ferry Irwandi yang berjudul ”Eat The Rich” di upload pada 15 September 2025.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *