Asal-Usul Jorong Buluh Kasok: Ketika Sungai dan Batu Menyimpan Janji Leluhur

Di balik lembah hijau yang terkenal dengan tebing-tebing menjulang di Luhak Limo Puluah, tersembunyi satu jorong kecil bernama Buluh Kasok. Secara administratif, wilayah ini masuk ke dalam Kenagarian Sarilamak, Kecamatan Harau, Kabupaten Limapuluh Kota. Meskipun berada di ibukota kabupaten, Buluh Kasok justru berdiri agak menjauh dari hiruk-pikuk pusat pemerintahan, sunyi, tetapi menyimpan sejarah panjang tentang asal-usul, adat, dan perjanjian kuno yang masih diingat turun-temurun.

Nama “Buluh Kasok” sendiri berasal dari sejenis tanaman bambu kecil yang banyak tumbuh di sepanjang tepi sungai dan perbukitan nagari ini. Dari tanaman itulah lahir nama jorong yang kini dikenal masyarakat. Namun, di balik nama sederhana itu, Buluh Kasok menyimpan tiga situs bersejarah yang menjadi saksi perjalanan leluhur: Jalan Badak, Batu Botanam di dekat Anak Aie Sari Bulan, serta Kapalo Bonda Buluh Kasok di Padang Balai Patomuan, tempat yang konon digunakan untuk memanjatkan doa bersama.

Dalam catatan adat Barih Balobeh: Adat Nagori Sarilimak, disebutkan bahwa “Masyarakat Buluh Kasok pada mulanya turun dari Bukik Jambu. Setelah sampai di anak air Sari Bulan, kelompok masyarakat yang turun tersebut terpecah menjadi dua, sebagian mengambil jalan hilir yang kemudian menjadi nenek moyang masyarakat Taram, dan bagian lainnya mengambil jalan ke hulu sungai yang kemudian menjadi nenek moyang masyarakat Jorong Buluh Kasok.” Tempat pertama mereka “molaco” atau bermukim adalah di Jalan Badak, di bawah pimpinan Datuak Patieh Nan Panjang dari suku Bodi Melayu, sebelum berkembang menjadi dua kawasan: Buluh Kasok Godang dan Buluh Kasok Kociek.

Cerita turun-temurun juga menyebutkan pernah terjadi wabah gatal di wilayah Taram. Wabah itu dipercaya sebagai akibat pelanggaran perjanjian batas wilayah antara dua masyarakat yang dahulu satu rumpun. Dalam legenda, masyarakat Buluh Kasok mencincang buah biluluek sejenis aren dan merendamnya ke aliran sungai menuju Taram. Air itu, katanya, menyebabkan siapa pun yang menyentuhnya terkena penyakit gatal yang tak tersembuhkan. Sejak itu, lubuk tempat air mengalir dinamai Lubuak Sigata.

Menyadari kesalahan mereka, masyarakat Taram datang memohon maaf. Kedua pihak bertemu di anak air tempat awal perpisahan mereka dulu Anak Aie Sari Bulan. Di sanalah mereka menanam batu sebagai tanda perjanjian, sumpah adat agar tak lagi saling melanggar batas wilayah. Batu itu masih diyakini berdiri hingga kini, menjadi simbol bahwa di Minangkabau, air dan batu bukan sekadar alam, melainkan penyimpan ingatan dan kehormatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *