Sarilamak pagi itu masih basah oleh embun ketika deretan kursi di Aula Lantai II Gedung Layanan Perpustakaan Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota mulai terisi. Dari mahasiswa, pelajar, guru, hingga masyarakat umum tampak memenuhi ruangan. Suasana hangat segera terbangun, sebab tokoh yang ditunggu-tunggu akhirnya datang: Boy Candra, penulis buku-buku laris yang namanya kerap menghiasi rak “bestseller” di toko buku Gramedia. Kamis, 6 November 2025 itu, ia menjadi bintang utama dalam Gelar Wicara “Menjadi Penulis Buku-Buku Bestseller di Era Digital”, salah satu rangkaian utama Festival Literasi Lima Puluh Kota 2025.
Acara dimulai sekitar pukul 09.40 WIB. Moderatornya, Muhammad Fadli, Ketua Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Sumatera Barat yang juga dosen UIN Imam Bonjol Padang, membuka forum dengan gaya santai namun menggugah.
“Pasti sudah tidak asing lagi dengan sosok ini. Ia sudah melahirkan puluhan buku dan bahkan buku-bukunya sudah ada beberapa yang difilmkan. Ada yang tahu film apa yang muncul dari karya Boy Candra? Yang tahu saya kasih garansi bisa foto bareng!,” kata M. Fadli yang disambut dengan suasana sontak riuh oleh tawa dan bisik antusias.
Fadli kemudian menambahkan dengan nada kagum bahwa Boy Chandra merupakan seorang penulis buku bestseller lewat karyanya yang menghiasi Gramedia dan sudah banyak sekali mengikuti berbagai penghargaan penulisan, ada Islam Book Fair, Ubud Writers & Readers Festival (UWRF), dan menerima penghargaan di bidang kepemudaan dari Pemerintah Kota Padang atas kiprahnya sebagai penulis buku.
Di samping itu, panitia mengakui bahwa ketika proses pendaftaran menghadapi tingginya minat masyarakat. Kuota peserta terbatas, tapi peminat yang ingin bertemu langsung dengan sang penulis melebihi perkiraan. Wajah-wajah muda tampak berseri, sebagian sibuk memegang catatan, berharap bisa mencuri sedikit rahasia di balik produktivitas Boy Candra.
Ketika mikrofon berpindah ke tangan Boy, suasana ruangan mendadak hening. Dengan suara lembut dan sedikit tawa, penulis kelahiran Malalak, Kabupaten Agam itu mulai berkisah tentang masa kecilnya.
“Nah, dulu waktu saya kecil, saya itu tidak punya banyak hiburan gitu ya, karena saya itu anak tunggal, adik saya ada satu tapi meninggal. Jadi sehari-hari itu saya itu sendiri, di rumah sendiri, ke sekolah sendiri gitu. Waktu kecil itu saya suka nangkap ikan, terus nyari ikan pakai serokan gitu, tangguak gitu ya. Nah, kebanyakan kayak bocah-bocah kampung pada umumnya itu,” katanya.
Dalam kesempatan tersebut, ia juga menceritakan pengalaman masa kecilnya yang lain yaitu setiap hari Rabu, ia dijatah sama ayahnya Rp1.000 untuk beli buku, komik Petruk dulu namanya itu.
“Komik Petruk itu adalah cerita kayaknya pewayangan gitu ya. Tokohnya itu komik eh Petruk, Gareng, Bagong dan teman-temannya. Nah, ceritanya itu kebanyakan tuh klenik. Kadang-kadang ada superhero juga. Eh, tapi kebanyakan tuh petualang gitu ya. Terus datang ke desa, ketemu timpa. Nah, Petruk itu suka nangkapin kuntilanak, terus kepalanya dipaku. Kuntilanak itu jadi cantik, dinikahin sama Petruk. Dia jadi kaya raya. Saya itu suka banget cerita itu. Saya sempat berpikir pengin punya istri kuntilanak,” ujarnya, disambut tawa para peserta.
Dari kisah jenaka itu, jelas bahwa minat baca Boy tumbuh dari lingkungan sederhana. Ayahnya, tanpa sadar, telah menanamkan benih literasi lewat kebiasaan kecil: memberi uang untuk membeli buku. Kini, puluhan tahun kemudian, benih itu tumbuh menjadi hutan ide yang melahirkan karya-karya laris, dari “Origami Hati” hingga “Sebuah Usaha Melupakan” dan banyak buku lainnya.
Usai acara, Boy berbagi kesan pertamanya datang ke Lima Puluh Kota kepada sudutpayakumbuh.com. “Ini pertama kali saya diundang ke 50 Kota. Menarik, dan ternyata seru ya 50 Kota. Tadinya saya pikir Payakumbuh sama 50 Kota itu satu, ternyata beda,” ujarnya sambil tersenyum. Ia mengaku terkesan dengan antusiasme peserta yang datang dari berbagai kalangan. “Iya, betul. Dan ini menarik, tadi pesertanya juga beragam, ada guru, ada siswa gitu. Serulah intinya.”
Namun, di balik kesan hangat itu, Boy juga menyelipkan catatan serius bagi para penulis muda. Dengan tenang tapi tegas, ia menyoroti lemahnya pemahaman terhadap dunia industri penerbitan di kalangan penulis daerah.
“Banyak-banyak belajar industri karena kan salah satu, menurutku banyak kelemahan teman-teman penulis di Sumatra Barat itu adalah tidak mau mempelajari pembaca, tidak mau mempelajari industri dengan lebih serius. Mereka tuh menulis gitu, tapi kadang-kadang kan enggak tahu juga mereka tuh tulisannya mau dikemanain. PR-nya sih itu sih. Mudah-mudahan kegiatan kayak gini itu memang memantik itu, mencari tahu tentang lebih banyak industri. Karena kan kita di pinggir ini ya, pinggir Indonesia lah ya. Kalau kita enggak belajar industri ibu kota ya kita juga susah kan,” katanya.
Kalimat itu seolah menjadi refleksi bagi peserta dan banyak anak muda yang ingin meniti karir sebagai penulis, bahwa menulis bukan hanya perkara imajinasi, tetapi juga strategi memahami pasar dan pembaca. Di era digital, di mana algoritma bisa menggeser selera publik dalam hitungan hari, seorang penulis harus punya insting sekaligus disiplin.
Selanjutnya, Boy juga menyinggung persoalan literasi dasar: membaca. Ia berbicara lugas, tanpa berbelit. “Sekarang, iya itu. Ya baca di internet juga enggak masalah ya. Intinya sih, maksudnya tidak harus buku. Berita-berita, portal berita, artikel itu kan juga membaca ya. Enggak masalah kalau misalnya belum bisa baca buku panjang, baca aja berita. Yang masalah itu enggak baca sama sekali kan. Terus ketidaktahuan, terus nanti ya kita jadi makanan politik-politik aja akhirnya kan. Ngikut aja gitu. Kita tidak paham terus kita kebawa rendong aja.”
Uraian demi uraiannya pagi menjelang siang di Perpustakaan Daerah Lima Puluh Kota menutup sesi dengan tepuk tangan panjang. Di luar ruang aula, udara siang mulai panas, tapi semangat literasi seakan menemukan nyalanya. Di sela keramaian pameran buku, bazar UMKM, dan pertunjukan ventriloquist, obrolan tentang Boy Candra terus terdengar.
Festival Literasi Lima Puluh Kota pada tahun 2025 ini memang bukan sekadar perayaan baca-tulis. Bahwa, di tengah geliat digital yang sering kali membuat orang hanya membaca “caption” dan “headline,” kehadiran Boy Candra menjadi pengingat bahwa literasi tak bisa hidup tanpa kebiasaan membaca, menulis, dan berpikir kritis. Dari cerita masa kecil hingga refleksi tentang industri, dari Petruk hingga pasar digital, Boy Candra mengajarkan satu hal sederhana namun mendalam: di dunia yang serba cepat ini, menulis tetaplah pekerjaan hati dan membaca adalah jalan menuju kesadaran.
