Chatib Sulaiman, Tokoh Pejuang Peristiwa Situjuah Belum Juga Kunjung Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional

Lagi-lagi impian masyarakat Sumatra Barat agar nama Chatib Sulaiman tercantum di daftar penerima gelar Pahlawan Nasional kembali belum terwujud.

Dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 116/TK Tahun 2025 yang dibacakan pada peringatan Hari Pahlawan, Senin, 10 November 2025, nama tokoh asal Tanah Datar itu lagi-lagi tak muncul. Presiden Prabowo Subianto menetapkan sepuluh nama baru pahlawan nasional tahun ini, namun tak satu pun di antaranya bernama Chatib Sulaiman.

Dari deretan penerima gelar itu, ada nama besar seperti Abdurachman Wahid dari Jawa Timur, Jenderal Besar Soeharto dari Jawa Tengah, Marsinah dari Jawa Timur, dan Mochtar Kusumaatmadja dari Jawa Barat. Sumatra Barat hanya diwakili oleh Hajjah Rahma El Yunusiyyah, tokoh pendidikan perempuan asal Padang Panjang. Selebihnya, nama-nama lain datang dari berbagai penjuru Nusantara: Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo, Sultan Muhammad Salahuddin dari NTB, Syaikhona Muhammad Kholil dari Jawa Timur, Tuan Rondahaim Saragih dari Sumatra Utara, dan Zainal Abisin Syah dari Maluku Utara.

Kabar itu menyisakan rasa kecewa yang dalam bagi masyarakat Minangkabau, meski begitu Rahmah El-Yunusiyah tetap menjadi suatu kebanggaan yang luar biasa karena masuk daftar penganugerahan di momentum hari pahlawan kali ini.

Bagi banyak orang, Chatib Sulaiman bukan sekadar nama dalam catatan sejarah, melainkan simbol pengorbanan dan kepemimpinan yang teruji di masa revolusi. Pemerintah Provinsi Sumatra Barat, bersama sejumlah daerah seperti Padang Panjang, Limapuluh Kota, Payakumbuh, dan Tanah Datar, sudah tiga kali mengajukan namanya tahun 1974, 2019, dan 2025. Namun, semua upaya itu berujung sama: kandas di meja Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (DGTJTK) yang kini dipimpin Menteri Kebudayaan Fadli Zon.

Upaya pertama dilakukan pada awal masa Orde Baru, tapi gagal. Pengusulan kembali pada 2019 disertai dokumen dan bukti sejarah yang lebih lengkap, tetap tak membuahkan hasil. Tahun ini, dengan dukungan berbagai elemen masyarakat, usulan itu kembali diajukan, namun lagi-lagi terhenti di tengah jalan.

Padahal, rekam jejak perjuangan Chatib Sulaiman nyaris tak terbantahkan. Lahir pada 1906 di Nagari Sumpur, Tanah Datar, di tepi Danau Singkarak, Chatib tumbuh dalam keluarga terpandang. Ayahnya, Haji Sulaiman, dan ibunya, Siti Rahma, dikenal sebagai tokoh masyarakat berpendidikan di nagari itu. Sejak kecil, Chatib ditempa dalam tradisi Minangkabau yang menekankan nilai kepemimpinan, ilmu, dan harga diri. Kecerdasannya menonjol, menjadikannya sosok muda yang disegani dan berwawasan luas.

Ketika pendudukan Jepang dimulai, Chatib tak berpihak buta. Ia melihat peluang untuk membentuk struktur pertahanan rakyat dari dalam. Ia menjadi bagian dari kelompok pemikir lokal yang menggagas pembentukan Giyugun barisan rakyat bersenjata yang kelak menjadi embrio Tentara Nasional Indonesia di Sumatra Barat. Di sinilah terlihat nalarnya yang strategis: memanfaatkan situasi penjajahan untuk membangun fondasi pertahanan jangka panjang.

Puncak kiprahnya terjadi pada Januari 1949. Kala itu, Chatib menjabat Ketua Markas Pertahanan Rakyat Daerah dan menjadi salah satu tokoh kunci dalam perlawanan terhadap agresi militer Belanda II. Pada malam 14 Januari, ia memimpin rapat penting di Lurah Kincia, Situjuah Batua, Lima Puluh Kota. Rapat itu dihadiri tokoh-tokoh militer dan pejuang, termasuk Bupati Militer Arisun Sutan Alamsyah dan anggota Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK).

Di bawah sinar lampu petromaks, mereka merancang serangan besar terhadap Payakumbuh yang saat itu diduduki Belanda. Tujuannya sederhana tapi bermakna: menunjukkan kepada dunia bahwa perlawanan rakyat Indonesia belum padam, meski penjajah mengklaim telah menaklukkan republik. Namun, rencana itu bocor.

Dini hari, 15 Januari 1949, saat para pejuang bersiap menunaikan salat Subuh, pasukan Belanda mengepung lokasi rapat. Dentuman senapan membelah sunyi lembah Situjuah. Chatib Sulaiman, Arisun Sutan Alamsyah, Letkol Munir Latief, Mayor Zainuddin, dan puluhan pejuang lainnya tewas seketika. Sebanyak 71 pejuang gugur pagi itu. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai Tragedi Situjuah sebuah luka sekaligus legenda dalam sejarah perlawanan rakyat Minangkabau.

Bagi generasi kini, Situjuah bukan hanya tempat ziarah sejarah, tetapi ruang ingatan kolektif tentang keberanian tanpa pamrih. Setiap Januari, masyarakat dan pemerintah daerah menggelar upacara mengenang peristiwa itu. Di atas tanah yang dulu memerah oleh darah para pejuang, nama Chatib Sulaiman selalu disebut dengan penuh hormat.

Sebagai bentuk penghargaan, namanya kini diabadikan menjadi nama jalan utama di Kota Padang dan beberapa kota lainnya di Sumatra Barat. Namun, tentu harapan masyarakat Minangkabau, penghargaan tertinggi tetaplah pengakuan negara.

“Kalau bukan beliau yang pantas disebut pahlawan nasional, lalu siapa lagi?” begitu kalimat yang kerap terdengar dari para veteran dan sejarawan lokal setiap kali isu pengusulan Chatib muncul kembali.

Hingga kini, negara belum memberi gelar itu. Tetapi bagi rakyat yang mengingatnya, Chatib Sulaiman sudah lama menjadi pahlawan bukan karena medali, melainkan karena darah dan tekadnya yang tumpah di tanah Situjuah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *