Didikan Ala VOC Pak Ak: Kenangan Tentang Guru Killer SMAN 2 Payakumbuh yang Dicintai Muridnya

Bagi alumni SMA Negeri 2 Payakumbuh, nama Pak Suhatril atau yang lebih akrab disapa Pak Ak mungkin sudah seperti legenda. Sosok guru Fisika yang berasal dari Pakan Salasa, Kelurahan Sicincin ini dikenal “killer”, keras tapi adil, dan bagi generasi 90-an hingga awal 2000-an nama beliau identik dengan ketegasan yang berbalut kasih. “Cameh kalau berurusan jo baliau,” tulis Da Boy mengenangnya, konten kreator asal Payakumbuh yang juga muridnya, mencoba mengingat-ingat dengan setengah bercanda.

Pak Ak, yang berpulang pada 2018, masih hidup di ingatan murid-muridnya sebagai guru yang tak hanya mengajarkan rumus dan teori Newton, tapi juga kedisiplinan hidup. “Tampa jo sipak adolah makanan kami sahari-hari maso itu,” Da Boy kembali mengenang, sambil menyematkan kerinduannya.

Hukuman fisik memang lazim di masa itu, tapi anehnya, tidak ada murid yang benar-benar membenci. Ketahuan merokok, cabut, atau berkelahi, semuanya bisa berujung “tampa”. Namun, setelah amarahnya reda, Pak Ak sering mentraktir muridnya makan atau bahkan membelikan buku pelajaran.

“Liau guru nan paliang sportif,” tulis Da Boy. “Sagalo permasalahan salasai ditampek, ndak pernah babaok ka kantor atau lapor guru BP,” Bagi para murid, gaya mengajar Pak Ak adalah campuran antara kerasnya disiplin militer dan lembutnya perhatian seorang ayah.

Pedagogi seperti ini, dalam pandangan sosiolog pendidikan, kerap disebut character-based pedagogy, metode mengajar yang mengutamakan pembentukan watak lewat keteladanan dan kedisiplinan sosial.

“Kalau guru-guru zaman itu dilaporkan ka Polisi karano alasan ‘tindak kekerasan’, mungkin isi Lapas guru sadonyo,” tulis pria yang dahulu sering kolab dengan Angel Cry itu, dengan humor khas Minang. Tapi di balik tawa itu, terselip pengakuan tulus: mereka yang pernah “ditampa” justru menjadi pribadi tangguh di kemudian hari.

Da Boy, terus mengenang pertemuan terakhirnya dengan sang guru. Di Bandung pada 2014 ketika sang guru melihat wisuda sang anak, Da Boy mencoba berkomunikasi dan bertemu.

Di pertemuan itu, Pak Ak justru meminta maaf: “Maafkan apak nan dulu,” kata Pak Ak lirih. Tapi Da Boy hanya tersenyum. Ia sudah lebih dulu berdamai. Karena di balik kerasnya tangan Pak Ak, ada cinta yang tak semua guru sanggup tunjukkan hari ini.

Tapi, akhirnya Da Boy juga menjawab: “Ndak paralu mintak maaf Pak, mokasi karano didikan ala VOC apak sahinggo ambo bisa iduik jo karehnyo perantauan,”

Kini, di tengah zaman di mana sentuhan sedikit bisa disebut “kekerasan”, kisah Pak Ak mengingatkan bahwa pendidikan bukan sekadar hafalan teori, tapi proses membentuk manusia. Kadang dengan lembut, kadang dengan keras seperti didikan ala Pak Ak yang membuat banyak muridnya tumbuh menjadi orang yang kuat menghadapi hidup.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *