Garis Ulama di Balik Sosok Brigjen TNI (Purn) Adityawarman Thaha

Menjelang Aksi Damai 212, sebuah nama kembali mengemuka di media nasional: Brigjen TNI (Purn) Adityawarman Thaha. Jumat pagi itu, petugas dari Polda Metro Jaya mendatangi kediamannya. Ia diamankan bersama Mayjen (Purn) Kivlan Zen, mantan Kepala Staf Kostrad ABRI yang dikenal dengan rekam jejak panjang di dunia militer. Dua nama purnawirawan ini mencuat dalam situasi politik yang tengah bergolak.

Namun, Adityawarman bukan sekadar mantan tentara. Di balik sosoknya yang tegas dan disiplin militer, tersimpan garis keturunan ulama besar Minangkabau yang membentang panjang dari surau ke medan tempur. Ia lahir di Padang Japang, Nagari VII Koto Talago, Kabupaten Lima Puluh Kota, pada 4 Maret 1945. Ia menutup usia pada 12 Juni 2019 di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, dan dimakamkan di Tanah Kusir.

Darah religius mengalir kental dalam tubuhnya. Ayahnya, Syekh Nasharuddin Thaha, adalah ulama besar dan alumnus Al-Azhar, Kairo. Syekh Nasharuddin adalah putra Syekh Thaha Limbukan, yang lebih dikenal sebagai “Baliau Limbukan,” pendiri surau besar di Limbukan, salah satu pusat keilmuan Islam terkemuka di Ranah Minang pada awal abad ke-20. Surau ini tak sekadar tempat ibadah, tapi juga wadah pembentukan intelektual dan spiritual yang menanamkan disiplin ilmu tarekat Naqsyabandiyah.

Dari jalur ibu, darah ulama kembali menyambung. Kakeknya, Syekh Abbas Abdullah dari Jorong Padang Japang, dikenal sebagai pembaharu pendidikan Islam dan pendiri Perguruan Darul Funun El-Abbasiyah. Nama Darul Funun itu harum di kalangan intelektual Islam Nusantara. Di lembaga itu, Syekh Abbas membangun sistem pendidikan modern dengan semangat pembaruan. Murid-muridnya, seperti Zainuddin Labay el-Yunusy dan Zainuddin Hamidy, kelak menjadi ulama penting yang membawa gagasan modernisme Islam ke berbagai daerah.

Dengan latar keluarga ulama dan pendidik, jalan hidup Adityawarman seolah menjadi paradoks: seorang keturunan surau yang memilih menapaki dunia militer. Ia meniti karier di Korps Zeni Tempur Angkatan Darat, hingga mencapai pangkat Brigadir Jenderal. Semasa bertugas, Adityawarman dikenal sebagai ahli bahan peledak kelas dunia. Gelar itu diperolehnya setelah menempuh pendidikan militer di Fort Bragg, Amerika Serikat, tempat yang juga melahirkan sejumlah perwira elite dunia. Di sanalah ia satu angkatan dengan Sjafrie Sjamsoeddin, yang kemudian dikenal sebagai Menteri Pertahanan hari ini dan juga ahli dalam bidang spionase serta anti-teror.

Dalam wawancara yang pernah dilakukan media Islam, Adityawarman mengaku bahwa corak keislaman tetap menjadi fondasi hidupnya. “Saya di TNI pernah dianggap ekstrem kanan dan pernah diadili di kesatuan. Untung saja ada Pak Feisal Tanjung saat itu menjadi komandan brigade,” ujarnya suatu kali. Ucapan itu mengisyaratkan pergulatan batin seorang tentara yang mencoba berdiri tegak di tengah ketegangan antara idealisme dan institusi.

Konteks zamannya pun tak bisa dilepaskan. Pada awal 1980-an, hubungan antara pemerintah Orde Baru dan kelompok Islam sedang dalam titik rawan. Peristiwa Tanjung Priok dan Talangsari menjadi penanda bagaimana rezim memandang Islam politik sebagai ancaman potensial. Di tengah situasi itulah Adityawarman berusaha menunjukkan bahwa menjadi Muslim taat dan prajurit negara bukanlah dua hal yang bertentangan.

Selepas pensiun, ia tidak menepi dari kehidupan publik. Adityawarman aktif di berbagai organisasi dan dunia politik. Ia pernah memimpin Gerakan Ekonomi dan Budaya (Gebu) Minang periode 2001–2014 serta menjabat Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (PII) 2011–2015.

Dalam Pemilu 2014, ia turun langsung sebagai juru kampanye Partai Bulan Bintang (PBB). Dalam setiap forum, ia vokal mengingatkan tentang bahaya pengaruh asing terhadap bangsa. “Komunisme dari Cina dan kapitalisme dari Amerika pelan-pelan telah menghisap kekayaan negeri ini secara terselubung,” ucapnya suatu kali, dengan nada peringatan yang tegas namun rasional.

Ia bukan hanya tentara atau politisi. Dalam dirinya, garis antara dunia spiritual dan militer berbaur menjadi satu narasi hidup yang tak lazim. Seorang keturunan ulama yang menguasai ilmu ledakan, seorang prajurit yang memahami tarekat, dan seorang intelektual Minang yang membawa semangat kebangsaan dari ruang surau ke gelanggang politik.

Kini, setelah kepergiannya, nama Adityawarman Thaha, menjadi simbol dua dunia yang jarang berpadu: dunia senjata dan pena, disiplin dan doa, ledakan dan zikir. Sebuah jejak yang memberitahu kita, bahwa dalam setiap sosok, sejarah selalu menyimpan lapisan yang tak bisa dibaca sekali pandang dan barangkali, di situlah makna sejati dari kata “perjuangan.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *