Ibu Suhalni: Pendekar Silek dari Jorong Parumpuang dan Cerita Perjalanan di Surau

Di sebuah rumah sederhana di Jorong Parumpuang, Kenagarian Koto Baru Simalanggang, Kecamatan Payakumbuh, seorang perempuan berusia 75 tahun menyambut kedatangan sudutpayakumbuh.com dengan senyum hangat. Namanya Ibu Suhalni. Di balik kelembutan tutur dan gerak yang tenang itu, tersimpan semangat yang keras ditempa waktu.

Ia bukan hanya jamaah surau yang tekun membacakan sifat dua puluh dengan langgam Belubus, tapi juga seorang pendekar silek yang disegani, pewaris langsung dari tradisi panjang surau dan tarekat di Luhak Limo Puluah.

Ketika sudutpayakumbuh.com berkunjung pada Selasa (21/10/2025), suasana di rumah itu terasa seperti lorong waktu. Di dinding tergantung foto lama putih abu-abu yang ternyata merupakan guru Ibu Suhalni di Surau, dan cerita di baliknya masih terang di ingatan Ibu Suhalni. Ia bercerita tentang masa mudanya masa ketika surau bukan hanya tempat sembahyang, melainkan juga arena menempa diri. “Kalau silek kiro-kiro di tahun 1960-an lah, sangkek itu gadih baru,” kenangnya.

Perempuan kelahiran 1950 itu memulai pelajaran silek di bawah asuhan Buya Bilar Martani, seorang ulama dan pendekar dari Jorong Guguak Nunang. Namun sebelum menapaki gelanggang, Buya Bilar memberi satu syarat. “Kalau nan mambao ka surau yo Buya Bilar Martani, lah taragak nak nio barajak silek. Kecek Buya, ‘Yo harus ambiak tarekat dulu,’ di ambiak lah tarekat,” tuturnya.

Nama Buya Bilar Martani sendiri sulit dilepaskan dari sosok gurunya, Syekh Mukhtar Angku Tanjuang, mursyid tarekat yang dikenal sebagai penerus Syekh Mudo Abdul Qadim. Keduanya bukan hanya guru dan murid, tapi juga pasangan sejalan dalam basilek. Kalau Syekh Mukhtar basilek, pasti ada Buya Bilar di situ.

Satu kisah yang paling diingatnya adalah percakapan dengan sang guru yang membimbingnya dalam tasawuf / tarekat, Syekh Mukhtar Angku Tanjuang. Suatu kali, Ibu Suhalni bertanya dengan lugu:

Ibu Suhalni: “Buya, apokah Buya ko menjadi Buya sejak dulu atau baa?”

Syekh Mukhtar Angku Tanjuang: “Indak eeh, ambo dulu, lai bermaksiat pulo, tapi akhirnyo ambo merasakan nikmatnyo bertuhan (mangona Allah) iyo disiko kironyo, dan ambo bertobat kepada Allah. Tapi kalau tobat yo sabona tobat handaknyo, ibarat membuang sampah, tidak akan kita pegang lagi sampah tersebut. Kalau bisa sampah tersebut diterbangkan oleh angin dan pergi jauh, bukan sekedar tobat samba lado.”

Kisah itu membuat matanya berkaca-kaca. Ia terdiam lama, seakan kembali pada masa di mana surau, silek, dan tarekat adalah satu tubuh utuh: wadah menempa raga dan menyucikan batin. “Sampah itu maksiat yang harus dibuang jauh,” katanya menegaskan kembali inti dari narasi Syekh itu.

Di usia senja, Ibu Suhalni masih bisa dengan baik membacakan shalawat dulang, dan menanamkan nilai yang sama kepada murid-muridnya: bahwa kekuatan sejati bukan dari otot atau jurus, tapi dari hati yang bersih dan niat yang lurus. Dari Parumpuang, ia menjaga warisan tak benda itu, sekaligus warisan surau agar tak padam oleh zaman.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *