Jejak Karomah di Balubuih: Kisah Buya Tis dan Syekh H. Abdul Malik

Langit sore di Jorong Bukit Apit, Kenagarian Sungai Talang, Kecamatan Guguak, Kabupaten Lima Puluh Kota, tampak redup ketika kami dari sudutpayakumbuh.com berkesempatan bersilaturahmi ke kediaman seorang ulama sepuh yang disegani, Buya Tis. Surau kayu sederhana itu berdiri di antara kevin cokelat yang mengelilinginya. Dari sanalah, kisah tentang Syekh H. Abdul Malik, ulama besar Tarekat Naqsyabandiyah wa Sammaniyah di Luhak Limo Puluah, kembali hidup melalui ingatan seorang murid yang setia.

“Beliau itu guru saya. Saya sering melihat langsung kekaromahan beliau,” tutur Buya Tis, menatap jauh seolah menembus masa lalu. Dalam tutur lembutnya, tersimpan rindu sekaligus hormat kepada sosok yang wafat pada tahun 1984 itu. Syekh Abdul Malik, kata Buya Tis, bukan hanya seorang mursyid tarekat, tetapi juga seorang pendekar yang mahir dalam seni silek. Gerakannya cepat dan tangkas; tak jarang lawan tandingnya terlempar ke kolam, atau dalam istilah Minang, tobek.

Tentang kabar yang menyebut Syekh Abdul Malik sebagai sosok pemarah, Buya Tis hanya tersenyum. “Benar, beliau memang tegas. Tapi beliau juga penyayang,” katanya. Ketegasan itu, menurutnya, sering muncul ketika seseorang melanggar adab atau pantangan dalam berbicara dengan seorang guru. Di balik ketegasan itu, ada kasih sayang yang dalam, meski tak selalu tampak di permukaan.

Namun kisah tentang Syekh Abdul Malik tidak berhenti di situ. Buya Tis menuturkan bahwa anak dari Maulana Syekh Mudo Abdul Qadim itu memiliki kekhasyafan luar biasa. “Beliau bisa melihat keadaan suatu tempat dari jarak jauh dengan tepat,” ujarnya pelan. Tak jarang pula, katanya, Syekh Abdul Malik mampu membaca isi hati orang yang datang menemuinya. Dalam pandangan Buya Tis, karomah semacam itu bukanlah legenda yang dilebih-lebihkan, melainkan cerminan dari kebersihan batin dan kedalaman ilmu sang guru.

Buya Tis sendiri memiliki pengalaman unik yang mengaitkannya kembali dengan Balubuih, tempat di mana Syekh Abdul Malik dulu bermukim dan mengajar. Suatu kali, ketika merantau ke Batam dan bekerja sebagai tukang urut, ia berkenalan dengan seorang imam masjid setempat. “Imam itu bertanya dari mana asal saya. Saya jawab, dari Payakumbuh, lebih tepatnya Balubuih,” kenangnya. Jawaban itu seketika mengubah ekspresi sang imam.

Ketika waktu salat tiba, imam tadi merasa kurang sehat dan mempersilakan Buya Tis untuk menjadi imam. Dengan rendah hati ia menolak. Namun sang imam bersikeras, berkata, “Tak ada orang Balubuih yang tak pandai menjadi imam. Kalau bapak tak bisa, berarti bapak bukan dari Balubuih.” Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, Buya Tis pun maju ke depan. “Saya tak bisa menolak lagi,” ujarnya sambil tersenyum.

Balubuih, tempat yang disebut-sebut dalam kisah itu, adalah daerah di Kenagarian Sungai Talang, yang dahulu menjadi pusat pengajaran Tarekat Sammaniyah wa Naqsyabandiyah. Banyak orang datang dari jauh untuk bersuluk di sana, menimba ilmu dan mendekatkan diri kepada Allah melalui bimbingan Syekh H. Abdul Malik.

Dari kisah Buya Tis, kita belajar bahwa menceritakan kembali karomah para guru bukanlah bentuk pengkultusan, melainkan upaya menjaga rabitah, ikatan spiritual antara murid dan mursyid. Dengan mengenang mereka, Insya Allah kita bisa memperkuat amalan dan menjaga adab dalam ilmu, seperti melalui kisah yang diingatkan oleh Buya Tis, yang menutup perbincangan, sementara senja menuju malam di Bukit Apit perlahan menelan cahaya hari.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *