Tanjung Haro Sikabu Kabu Padang Panjang, sebuah nagari yang bernaung di kaki Gunung Sago, menyimpan jejak panjang spiritualitas dan pengetahuan Islam di Ranah Minang. Nagari ini bukan sekadar bentangan tanah subur dan kabut yang turun saban pagi; ia adalah ruang hidup yang mengalirkan tradisi tarekat, surau, dan manuskrip tua yang ditulis dengan tangan para alim. Nama kenagarian ini pun telah menempuh perjalanan sejarah yang tak singkat. Mulanya disebut Sikabu-kabu pada masa kolonial Belanda hingga PRRI, lalu berubah menjadi Sikabu-kabu Tanjung Haro di era Orde Lama dan Orde Baru, kemudian pada masa reformasi sekitar tahun 2000 berganti menjadi Sikabu-kabu Tanjung Haro Padang Panjang, hingga kini dikenal dengan nama Tanjuang Haro Sikabu Kabu Padang Panjang.
Di nagari yang tenang ini, dua sosok ulama besar pernah menetap dan meninggalkan warisan spiritual yang mendalam. Pertama, Tuangku Mudo Isma’il Rahman bin Maulana Syekh Abdurrahman Al-Khalidi Kumango anak bungsu dari Syekh Abdurrahman Al-Khalidi Kumango yang dikenal lewat karyanya dalam Silek Kumango dan manuskrip bernilai tinggi berjudul Kitab Jalan Menemui Tuhan, ditulis dalam aksara Arab Melayu. Karya ini bukan sekadar teks keagamaan, tetapi juga renungan batin tentang perjalanan manusia menuju Sang Khalik.
Sosok kedua, yang tak kalah menarik namun lebih misterius, adalah Maulana Syekh Muhammad Salim Al-Khalidi Sikabu Kabu. Namanya tak sepopuler ulama lain dari Minangkabau, tetapi jejaknya menimbulkan banyak tanya. Apria Putra, dalam penelitiannya Riwayat Hidup Ulama Limapuluh Kota (2009), menyebut bahwa meski data tentang Syekh Salim masih samar, ia tetap memasukkan namanya dalam daftar ulama penting, berdasarkan keterangan gurunya di Batulabi, Mungo, serta penemuan manuskrip tua yang menguatkan eksistensinya.
Tahun 2005, Apria memperoleh salinan naskah yang menambah lapisan misteri itu. Manuskrip tersebut merupakan terjemahan bahasa Melayu dari karya Syekh Sulaiman Zuhdi Al-Khalidi, tokoh sentral Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Jabal Abi Qubaisy, Mekkah yang ternyata diterjemahkan oleh Syekh Muhammad Salim Sikabu Kabu sendiri.
Temuan ini menjadi petunjuk penting bahwa Syekh Salim pernah menimba ilmu di Mekkah dan beristifadah langsung di Jabal Abi Qubaisy, tempat para salik menapaki jalan tasawuf.
Dalam catatan lain disebutkan, guru Syekh Muhammad Salim adalah Syekh Muhammad Thaha Limbukan, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Oyah Limbukan, seorang ulama besar yang wafat sekitar tahun 1912 M. Relasi guru-murid ini mengindikasikan bahwa Syekh Salim berada dalam jejaring kuat ulama Naqsyabandiyah yang tersebar di Minangkabau dan Mekkah, sebuah jaringan spiritual dan intelektual yang menjembatani dua pusat ilmu Islam: nagari dan Tanah Suci.
Syekh Salim bukan hanya mursyid tarekat, tetapi juga seorang pengarang yang aktif. Salah satu naskahnya mengulas praktik dan filosofi Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah secara mendalam. Naskah tersebut tidak sekadar berisi panduan zikir dan suluk, tetapi juga membahas dimensi esoteris, simbolisme spiritual, hingga konsepsi filsafat dalam amalan tarekat. Di antara tumpukan manuskrip lain, karyanya menonjol karena keberanian menghubungkan ritual dengan refleksi intelektual yang tinggi.
Kolofon dalam naskah Syekh Salim memberi petunjuk penting: ditulis pada tanggal 10 Safar 1350 H atau tahun 1929 M. Jika kini tahun 1430 H, maka usia naskah itu telah melampaui delapan dekade. Lebih menarik lagi, kolofon itu menyebut bahwa teks tersebut adalah salinan dari naskah yang lebih tua, kemungkinan besar hasil koreksi sang pengarang sendiri. Di bagian bawah kolofon terdapat tanda yang menyerupai tanda tangan bertuliskan “Fakih Muncak” nama yang menunjukkan bahwa penyalinnya adalah seorang santri senior, mungkin murid langsung dari Syekh Salim.
Petunjuk lain muncul dari kalimat di akhir teks:
“…tetapi kami simpan akan dia sehabis-habis simpan karena picik waktu haji dan suluk ikhwan pada ini hari dan masa banyak bimbing segala masa di dalam negeri yang sah sejahtera…”
Ungkapan itu memperlihatkan bahwa penyalinan dilakukan di Mekkah, di tengah suasana haji yang padat dan amalan suluk yang sedang berlangsung. Dari situ tersirat suasana tergesa yang menyebabkan beberapa bagian naskah mengalami kesalahan penyalinan (korup dan lakuna). Namun di balik cela-cela teks itu, ada keotentikan: bahwa naskah ini lahir dari ruang ibadah, dari tangan seorang sufi yang hidup dalam denyut tarekat, bukan semata-mata penulis teks agama.
Pertanyaan besar pun muncul: siapakah sebenarnya Syekh Muhammad Salim Sikabu Kabu? Jika benar ia mengarang naskah tarekat di Mekkah dan menyulukkan jamaah di sana, kedudukannya bisa disamakan dengan para syekh besar di Jabal Abi Qubaisy, bahkan mungkin salah satu khalifah Syekh Sulaiman Zuhdi. Namun, hingga kini, sosoknya tetap diselimuti kabut sejarah.
Secara umum, kandungan naskahnya terbagi dalam beberapa pasal: zikir ismuzzat dan lathaif, zikir nafi isbat, zikir wuquf, muraqabah ithlaq dan muraqabah ma‘iyah, hingga zikir tahlil lisan dan pembahasan tentang keadaan suluk. Struktur teksnya menunjukkan kematangan spiritual dan metodologis, khas seorang guru tarekat yang berpengalaman mendidik para salik.
Tokoh masyarakat setempat, Yudilfan Habib Dt. Monti, yang ditemui sudutpayakumbuh.com pada Minggu (5/10/25), menuturkan, “Syekh Salim ini adalah orang wara’. Wara’ itu dalam kemampuan keilmuannya, entahkah itu tafsir, hadis, dan fikih, termasuk juga Tarekat Naqsyabandiyah.”
Ia menambahkan dengan nada reflektif, “Penghormatan kepada Syekh itu tentu tidak sama dengan hari ini. Orang dahulu lebih takzim. Dan biasanya, ulama seperti beliau diambil sebagai suami oleh perempuan-perempuan Minangkabau. Makanya wajar kalau orang alim itu istrinya tidak satu, karena yang ingin kepadanya bukan dirinya, tapi ilmunya.”
Kini, di tengah hiruk-pikuk dunia modern, naskah dan kisah Syekh Salim seolah menjadi bisikan dari masa lalu, sebuah pengingat bahwa pengetahuan sejati tidak hanya lahir dari ruang akademis, tetapi juga dari kesunyian doa dan ketekunan menulis di bawah cahaya lampu minyak, di sebuah nagari di lereng Gunung Sago, tempat di mana ilmu dan spiritualitas masih berjalan berdampingan.