Dalam catatan sejarah perjuangan Indonesia, narasi tentang pertempuran dan diplomasi sering kali menempati panggung utama. Namun, di balik gegap-gempita perang kemerdekaan, ada kisah lain yang tak kalah menentukan kisah tentang ekonomi perlawanan. Di Sumatra Barat, perjuangan tidak hanya ditopang oleh senjata dan semangat, tetapi juga oleh ide-ide ekonomi yang kreatif, improvisatif, dan berani. Dari pencetakan uang sendiri, pendirian bank nasional lokal, hingga pengumpulan emas rakyat, setiap langkah ekonomi menjadi denyut revolusi. Semua kisah ini bersumber dari catatan Sejarah Sosial di Daerah Sumatra Barat, yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1983/1984).
Pada 26 Oktober 1946, di Yogyakarta menandai babak baru bagi republik muda itu. Pemerintah resmi mengedarkan Oeang Republik Indonesia (ORI), simbol kedaulatan yang menggantikan uang pendudukan Jepang.
Di Jawa, kursnya ditetapkan 1:50 terhadap uang Jepang; di Sumatra, 1:100. Namun, logistik menjadi kendala besar jumlah ORI yang dicetak di Jawa tidak mencukupi untuk diedarkan ke seluruh Indonesia. Di Sumatra Barat, uang republik terasa seperti angin yang hanya berhembus dari jauh. Nilainya pun sempat melambung tinggi, menjadi simbol kebanggaan sekaligus kelangkaan.
Ketika kebutuhan transaksi semakin mendesak, pemerintah Sumatra mengambil langkah strategis. Pada April 1947, mereka mencetak uang sendiri: URIPS (Uang Republik Indonesia Propinsi Sumatra) di Pematang Siantar, disusul dengan versi lokalnya, Urips Sumatra Barat, yang dicetak di Bukittinggi. Langkah ini bukan sekadar upaya ekonomi, melainkan politik upaya menjaga legitimasi republik di tengah situasi yang serba darurat.
Namun, keberanian itu diiringi risiko. Banyak uang cetakan Pematang Siantar yang dipalsukan, membuat pemerintah melakukan saneering atau pemotongan nilai uang demi menekan inflasi. Uang kertas Rp25 yang berwarna hijau bergambar pesawat terbang menjadi korban kebijakan ini. Peristiwa itu kelak dikenal rakyat sebagai “jatuhnya kapal terbang hijau” sebuah metafora getir tentang uang yang kehilangan sayapnya di udara revolusi.
Di saat yang sama, sektor perbankan lokal menunjukkan peran yang luar biasa dalam menopang perjuangan. Bank Negara Indonesia 1946 (BNI 46) dan Bank Nasional Bukittinggi menjadi dua institusi finansial yang tak sekadar berurusan dengan angka, tetapi juga dengan ide dan nyawa perjuangan.
BNI 46, yang didirikan di bawah pengawasan R.M. Margono Djojohadikusumo, pada awalnya dirancang sebagai bank sirkulasi nasional. Meski kondisi di Sumatra jauh lebih sulit dibanding Jawa, BNI berhasil membuka cabang di berbagai kota: Palembang, Pematang Siantar, Bukittinggi, Pekanbaru, hingga Kotaraja. Di Bukittinggi, cabangnya bahkan berkembang menjadi pusat ekonomi perlawanan.
Melalui dorongan dari Mohammad Hatta, BNI 46 Bukittinggi mendirikan dua lembaga penting: Sumatra Banking and Trading Corporation (S.B.T.C.) dan Central Trading Company (C.T.C.).
Kedua lembaga ini menjadi tulang punggung suplai kebutuhan logistik tentara. Presiden Komisarisnya, Mr. A. Karim, berperan mengelola aset yang sebagian modalnya berasal dari komoditas candu. Ironis tapi faktual candu yang diselundupkan dari Yogyakarta sebelum agresi militer Belanda II itu justru menjadi alat vital dalam diplomasi ekonomi republik, dipakai untuk membiayai pilot R.I. yang belajar di India, membeli suku cadang pesawat, hingga memenuhi kebutuhan pasukan di Bukittinggi.
Ketika Belanda menduduki kota itu, seluruh kekayaan BNI 46 berhasil diselamatkan ke pedalaman. Sebagian kecil candu bahkan diselundupkan keluar negeri untuk memperoleh dana perjuangan. Ekonomi bawah tanah kala itu adalah strategi bertahan hidup republik muda.
Sementara itu, Bank Nasional Bukittinggi, yang berdiri sejak 31 Desember 1931 di bawah kepemimpinan Haji Mohammad Yatim, memainkan peran ekonomi rakyat jauh sebelum revolusi. Bank ini pada awalnya dikenal sebagai Abuan Saudagar wadah simpanan dan pinjaman antar saudagar lokal. Namun, seiring waktu, lembaga ini berkembang menjadi bank yang mendirikan perusahaan dagang bernama INKORBA (Inkoop Organisatie Batik).
Pada masa kolonial Belanda, berkat lobi tokoh-tokoh pergerakan seperti Mohammad Jamin dan M.H. Thamrin, bank ini memperoleh lisensi impor melalui skema Inlandse Maatschappij op Aandeelen (I.M.A.). Dengan izin itu, Bank Nasional Bukittinggi bisa mengimpor tekstil, barang kelontong, dan perlengkapan konfeksi, menjadikannya pemain penting dalam perekonomian lokal Minangkabau.
Saat revolusi pecah, bank ini tidak tinggal diam. Melalui jaringan pedagang lokal, mereka menggalang dana untuk membeli senjata api karabin, senapan mesin ringan, hingga peti-peti granat tangan yang disimpan di rumah Anwar St. Saidi, salah satu pimpinan bank. Kunci lemari berisi uang dan senjata bahkan diserahkan kepada Ismael Lengah, tokoh militer Bukittinggi, sebagai bentuk kepercayaan total. Bank ini menjadi lembaga finansial rakyat yang beroperasi di bawah semangat nasionalisme yang membara.
Ekonomi perjuangan di Sumatra Barat tidak hanya berbicara tentang uang dan bank, tetapi juga tentang beras dan padi rakyat. Tahun 1946, pemerintah daerah mengeluarkan Maklumat No. 14, yang mewajibkan rakyat menyumbangkan 10 persen hasil panennya untuk negara. Kebijakan ini dikenal sebagai program “Sepuluh Persen Padi Rakyat untuk Negara.”
Dalam konferensi Wali-Wali Nagari se-Sumatra Barat pada Maret 1947, Residen St. Mohammad Rasyid menegaskan pentingnya kontribusi rakyat terhadap logistik perang. Ia pun menggagas pendirian Majelis Kredit, badan yang memberikan pinjaman uang kepada petani agar tetap produktif di tengah situasi krisis. Dana pinjaman ini disalurkan ke 500 nagari, masing-masing menerima Rp1 juta. Enam bulan kemudian, hasil panen meningkat, sebagian petani mulai mengangsur utang mereka tanda bahwa ekonomi rakyat tetap hidup di tengah perang.
Namun, kekurangan dana di kalangan tentara memunculkan masalah baru. Banyak prajurit meminjam uang dari rakyat dengan bon pinjaman, menciptakan gesekan sosial. Residen Rasyid bersama Gubernur Sumatra, Mr. T.M. Hasan, menempuh solusi dengan mencetak uang daerah senilai Rp1,5 juta dibagi untuk tentara, pegawai, dan petani. Sebuah langkah improvisatif yang menunjukkan betapa ekonomi kala itu diatur oleh semangat gotong royong dan rasa saling percaya, bukan sistem formal.
Koordinasi ekonomi regional juga dijalankan melalui pembentukan Majelis Keuangan Sumatra Barat dan Riau sekitar tahun 1947. Lembaga ini memfasilitasi perdagangan lintas wilayah, terutama pertukaran antara beras dari Sumatra Barat dan barang-barang impor dari Singapura yang masuk lewat Riau. Gudang di Bukittinggi bahkan penuh dengan tekstil, ban mobil, hingga bensin dari Minas.
Namun, geliat perdagangan itu juga memancing praktik penyelundupan. Barang-barang dari Singapura mengalir deras tanpa kendali. Untuk menertibkannya, pemerintah mendirikan pos Polisi Istimewa (Mobrig) dan kantor douane (bea cukai) di perbatasan Riau-Sumatra Barat. Meski “aneh” bagi satu daerah memungut bea dari daerah tetangga, kebijakan ini dilakukan demi mencegah spekulasi dan menjaga kestabilan harga. Majelis Keuangan ini bertahan hingga Agresi Militer II, ketika Belanda menduduki Bukittinggi dan Pekanbaru.
Dan mungkin, bab paling menggetarkan dalam catatan ini adalah pengumpulan emas rakyat untuk perjuangan. Pada 27 Juli 1947, di bioskop Padang Panjang, Residen Rasyid dan Kolonel Ismael Lengah memimpin rapat yang kemudian menjadi saksi solidaritas tak tertandingi. Di tengah perang dan kemiskinan, rakyat melepas gelang, subang, liontin, bahkan cincin kawin mereka. Air mata dan emas berpadu dalam satu kesadaran kolektif: merdeka harus dibayar dengan apa saja yang dimiliki.
Dua bulan kemudian, Wakil Presiden Mohammad Hatta memprakarsai pembentukan Panitia Pusat Pengumpulan Emas. Tujuannya: membeli pesawat terbang untuk perjuangan. Kampanye emas itu berhasil besar, tetapi sejarah mencatat kepedihan. Pesawat yang dibeli dari hasil sumbangan rakyat itu jatuh di dekat Tanjung Hantu, Malaysia, menewaskan dua penerbang muda: Halim Perdanakusumah dan Iswahyudi.
Sisa emas sebanyak 2,5 kilogram disimpan di Bank Negara, lalu diserahkan ke Bank Indonesia di Jakarta setelah pengakuan kedaulatan. Kepala cabang BNI Padang, Syamsu Anwar, sempat mengusulkan agar emas itu tetap disimpan di Padang sebagai simbol gotong royong dan pengorbanan rakyat Sumatra Barat. Tapi seperti banyak hal lain dalam sejarah, emas itu pun akhirnya berpindah ke pusat.
Di setiap helai catatan, terlihat jelas bagaimana ekonomi bukan sekadar urusan angka, tapi juga bagian dari wujud ideologis dari perjuangan kemerdekaan. Ketika uang dicetak, bank dibangun, padi dikumpulkan, dan emas diserahkan, semua itu bukan semata strategi finansial tetapi pernyataan eksistensial bangsa. Bahwa kemerdekaan bukan hadiah, melainkan hasil dari keberanian menakar nilai, bahkan ketika harga diri lebih tinggi dari nominal apa pun.
(Sumber utama: Buku “Sejarah Sosial di Daerah Sumatra Barat,” Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek-Proyek dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983/1984.)
