Suasana di Jorong Koto Tuo, Nagari Koto Tuo, Kec. Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat, hari ini tampak tenang. Deretan rumah gadang yang berjejer dari timur ke barat menghadirkan gambaran kampung tua yang sarat sejarah. Namun di balik kedamaian itu, tersimpan cerita getir yang tak pernah pudar dari ingatan warga: peristiwa “Koto Tuo Lautan Api”.
Menurut catatan sejarah lokal, Koto Tuo adalah salah satu kampung tertua di nagari itu. Dulu, ada 58 rumah gadang megah di seantero kampung, 37 di antaranya lengkap dengan lumbung padi atau kopuak. Kemegahan itu musnah dalam Agresi Militer Belanda II. Pada 10 Juni 1949, Belanda melaksanakan ancaman yang mereka sebut sebagai “ultimatum bumi hangus”.
Asalnya, sepasukan pejuang dari Pasukan Mobil Teras (PMT) menyergap iring-iringan tentara Belanda di jembatan Padang Gantiang, kawasan Tanjung Pati–Batu Balang. Salah satu komandannya bernama Darisun, asal Koto Nan Gadang. Dalam penyergapan itu seorang perwira Belanda dan beberapa tentaranya tewas, meski jumlah persis korban tak pernah terdata. Bukti kemarahan Belanda terlihat sehari kemudian: bendera merah-putih-biru berkibar setengah tiang di beberapa kantor mereka di Payakumbuh.
Balasan Belanda datang tanpa kompromi. Ultimatum mereka jelas: jika pejuang tidak menyerah, maka kampung Tanjung Pati, Pulutan, Koto Tuo, dan Batu Balang akan dibakar habis. Ultimatum itu diabaikan. Jumat subuh, 10 Juni 1949, Belanda menyisir Koto Tuo. Api pun dilalapkan ke rumah-rumah. Sejumlah 110 bangunan, termasuk rumah gadang, rata dengan tanah. Delapan warga dari Koto Tuo, Tanjung Pati, dan Pulutan yang belum sempat mengungsi, gugur.
Namun, dari sekian rumah gadang yang musnah, ada satu bangunan yang luput dari api. Rumah gadang itu milik keluarga istri ulama karismatik, Al-Arif Billah Maulana Syekh Mudo Abdul Qadim Balubuih, sekaligus tempat anak beliau Syekh Nurullah Dt. Anso dibesarkan.
Kesaksian seorang putri Syekh Abdul Qadim yang kala itu masih remaja menyebut tentara Belanda sempat menumpuk barang-barang mudah terbakar di dalam rumah itu. Api sudah disulut, bahkan sebagian lantai rumah sudah tersentuh api. “Namun kuasa Allah, api seketika padam. Tidak merembes ke mana-mana,” tutur si putri, sebagaimana diceritakan kembali dari generasi ke generasi.
Kejadian itu membingungkan warga. Rumah gadang tersebut terbuat dari bahan serupa dengan rumah-rumah lain yang hangus. Tetapi ia tetap berdiri. “Siapa yang tidak heran?” begitu pertanyaan yang kerap muncul dari mulut orang kampung. Dari situlah lahir sebutan yang hingga kini masih diperdengarkan di surau-surau: “Barokaik Tuah Karamaik Oyah Balubuih.”
Bagi masyarakat setempat, peristiwa itu diyakini sebagai karamah, berkah spiritual seorang ulama yang amat dekat dengan Allah. Keyakinan ini kian menguat karena peristiwa serupa kembali terjadi pada masa berbeda. Saat pergolakan PRRI, rumah salah seorang putri Syekh Abdul Qadim, Hj. Jawahir, di Piobang, Payakumbuh, dijadikan target operasi pemusnahan. Menurut penuturan Buya Hadis Lathif, cucu kesayangan sang ulama, tentara PRRI telah menyiram minyak ke sekeliling rumah dan bahkan ke dalam ruangan. Tetapi api tak kunjung menyala. Rumah itu tetap utuh.
Cerita-cerita ini membuat nama Syekh Mudo Abdul Qadim Balubuih kian lekat dalam ingatan masyarakat. Ia dihormati sebagai tokoh ulama yang melahirkan banyak murid hingga pelosok Nusantara. Karya-karyanya, seperti Tsabitul Qulub yang berjilid-jilid dan As-Sa‘datul Abdiyah Fima Ja’a Bihin Naqsyabandiyah, hingga kini masih dipelajari di banyak surau.
Bagi generasi tua Koto Tuo, peristiwa Lautan Api adalah luka yang menandai hancurnya kebanggaan sebuah kampung tua. Tapi bagi sebagian yang lain, kisah rumah gadang yang tak terbakar adalah pengingat tentang keberkahan dan karamah yang diyakini tetap menjaga warisan leluhur mereka. Dua sisi cerita itu berjalan beriring: sejarah perang yang getir, dan keyakinan akan tuah yang melampaui nalar.
Kini, ketika orang-orang melintasi Koto Tuo, mereka mungkin hanya melihat kampung damai dengan beberapa rumah gadang yang masih tersisa. Namun bagi warga, setiap jengkal tanah menyimpan kenangan tentang api yang melalap habis rumah dan kehidupan. Juga tentang satu rumah yang bertahan, seolah menjadi simbol bahwa sejarah tidak hanya tercatat dalam arsip, tetapi juga dalam keyakinan yang terus diwariskan.