Kabupaten Lima Puluh Kota di Sumatra Barat adalah lanskap yang memelihara waktu. Dari lembah-lembah berhawa lembap hingga kaki-kaki gunung yang diliputi kabut, setiap hamparan tanahnya seolah menyimpan percakapan sunyi antara masa lampau dan masa kini. Terletak di antara 0°22” Lintang Utara – 0°23” Lintang Selatan dan 100°16”–100°51” Bujur Timur, daerah ini membentang seluas 3.354 kilometer persegi, dengan ketinggian 90 hingga 2.078 meter di atas permukaan laut. Di titik terendah, sekitar Waduk PLTA Tanjung Pauah di Kecamatan Pangkalan, udara berembus hangat dan lembap; sementara di puncak Gunung Sago di Kecamatan Situjuah Limo Nagari, kabut tipis mengambang seperti tirai masa lalu yang enggan tersingkap.
Di tengah bentang itu berdiri Kecamatan Guguak, salah satu kawasan yang menjadi gudang peninggalan megalitik paling kaya di Sumatra Barat. Letaknya strategis, diapit Kecamatan Mungka di utara, Payakumbuh dan Akabiluru di selatan, Payakumbuh di timur, dan Suliki di barat. Di wilayah ini, situs-situs batu tegak atau menhir tersebar di berbagai nagari, setiap jorong, setiap lekuk tanah, seolah menjadi halaman dari kitab purba yang ditulis dengan simbol dan pahatan batu.
Perjalanan menuju Nagari Guguak VIII Koto dimulai dari jalur Payakumbuh–Suliki, jalan berliku dengan pepohonan tua yang meneduhkan sisi kiri-kanannya. Di pinggir jalan itu, tak jauh dari MTSN 3 Lima Puluh Kota, berdiri sekelompok batu tegak. Sebagian miring, sebagian nyaris rebah, namun tetap memancarkan aura kekunoan yang sulit dijelaskan. Saiful Guci, penggiat sejarah lokal yang menulis banyak tentang artefak dan tradisi di Lima Puluh Kota, pernah mencatat bahwa salah satu batu di lokasi ini menampilkan ukiran berbentuk burung di atas daun bunga telang, yang seolah sedang mengisap sari madu. Dari motif halus itu, para ahli menafsirkan maknanya sebagai lambang kasih sayang dan penyatuan sebuah simbol perkawinan suci yang diabadikan dalam bentuk batu.
Di titik lain, sekitar Nagari Sungai Talang, kehidupan masa lalu tampak lebih terpelihara. Di sini berdiri Situs Menhir Belubus, kawasan yang sudah dijaga oleh kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumatra Barat dan Riau di Batusangkar. Kompleks ini dipagari kawat berduri, di tengahnya berdiri rumah adat dua tingkat yang difungsikan sebagai museum kepurbakalaan. Namun, bangunan kayu itu kini tampak murung: beberapa foto tua tergantung berdebu di dinding, papan informasi yang mestinya menjelaskan nilai sejarah nyaris kosong, dan atap di ujung timur rusak tertimpa pohon rubuh. Dari gerbang besi berkarat menuju situs utama terbentang jalan semen yang memanjang ke arah tenggara, diapit kolam ikan yang tenang.
Di dalam pagar seluas hampir setengah hektar itu, berdiri 16 buah menhir dengan bentuk dan ukuran berbeda-beda. Yang terbesar, di sisi tenggara tepat di pinggir jalan raya, menjulang setinggi 163 sentimeter dengan ketebalan sekitar 40 sentimeter. Arah hadapnya ke Gunung Sago, gunung yang dianggap sakral dan menjadi poros spiritual masyarakat Minangkabau. Pada sisi batu terukir gambar naga, simbol kekuatan kosmik yang sering muncul dalam kepercayaan kuno. Di bawah pahatan naga, lima segitiga tersusun berhadap-hadapan, sementara di tengahnya terpahatmatahari bersinar penuh tanda kehidupan, pusat tenaga, sekaligus lambang kemuliaan. Pada sisi belakangnya, ukiran motif kaluak paku menjalar seperti sulur kehidupan.
Menhir-menhir lainnya lebih kecil, ada yang hanya setinggi bahu manusia. Salah satunya menampilkan tonjolan menyerupai gerigi mesin bentuk yang memancing banyak tafsir. Sebagian batu tampak runcing di puncak, sebagian undak, seluruhnya menghadap arah gunung. Di luar pagar, masih tampak menhir tambahan, juga berpahat naga dan segitiga, seolah menyebarkan jaringan makna yang sama: hubungan manusia, bumi, dan langit.
Sekitar 900 meter di barat taman purbakala, di kawasanKapalo Koto, berdiri menhir lain yang disebut warga Batu Bagaleh. Ukiran di batu ini masih berpola kaluak paku dan segitiga bersusun. Salah satunya telah tumbang batu terbesar yang kini terbaring di rerumputan. Namun legenda dan cerita tetap hidup di sekitarnya. Di kaki bukit Parasi, kawasan yang sering disebut “sawah jambu” karena banyaknya pohon jambu di sana, berdiri batu besar berbentuk trapesium tak sempurna. Warga menyebutnya Batu Kobau.
Batu itu memikat siapa pun yang melihatnya: di sisi timur terpahat kepala kerbau, tanduknya memanjang delapan puluh sentimeter, matanya terbenam dua sentimeter dalam batu. Bibirnya dibuat dari lekukan persegi empat, dan di atas kepalanya terdapat garis-garis berpola lubang. Ukiran itu tidak dibuat sembarangan. Dalam tradisi Minangkabau, kerbau adalah lambang kesuburan, kekuatan, dan kebenaran. Hewan ini menjadi simbol pengorbanan suci dalam prosesi batagak penghulu seorang penghulu dianggap sah jika telah menyembelih seekor kerbau. Bahkan hingga kini, tanduk kerbau sering dipahat di atas rangkiang padi sebagai tanda keberkahan.
Dalam pengajian adat salingka nagari di Sungai Talang pada September 2002, para ninik mamak dan cadiak pandai membahas kenapa kerbau dijadikan simbol utama dalam upacara adat. Mereka bersepakat bahwa kerbau adalah perumpamaan dari pemimpin ideal: berkekuatan besar namun jinak, bersenjata tajam namun tidak menyerang, melindungi anak dan kelompoknya, dan memberi kehidupan bagi tanah. Simbol ini menjelma konkret dalam ukiran kepala kerbau di Batu Kobau perpaduan antara spiritualitas, kesuburan, dan penghormatan pada kehidupan.
Saiful Guci menulis, dalam kepercayaan lama, air yang disiramkan ke lubang-lubang batu kerbau akan mengalir mengikuti jalur ukiran dan akhirnya membasahi pahatan kepala hewan itu. Ritual ini dipercaya dapat memanggil hujan dan membawa kesuburan tanah. Saat kabut turun di puncak Gunung Bungsu di arah timur, masyarakat percaya doa mereka didengar. Upacara semacam itu biasanya diakhiri dengan selamatan panen ritus agraris yang mengikat manusia dengan tanah dan langitnya.
Namun cerita yang paling misterius datang dari sebuah situs di bawah bukit Parasi: Batu Biliak. Di sinilah legendaDatuk Soyiah hidup dalam ingatan masyarakat Belubus dan Sungai Talang. Batu ini terdiri dari empat lempeng batu pipih setebal dua puluh sentimeter, membentuk bilik seluas empat kali tiga meter. Tiga di antaranya berdiri tegak, menopang atap batu yang diletakkan di atasnya. Lorong sempit di pintu masuk hanya muat untuk satu orang dewasa. Di sekitarnya tumbuh pohon beringin besar, akar-akarnya melilit seperti urat waktu.
Menurut kisah yang beredar, Datuk Soyiah adalah seorang pendatang dari Parsi tanah jauh di barat sana. Ia menetap di Belubus, jauh sebelum Islam dikenal di daerah itu. Di Batu Biliak inilah ia hidup, beribadah di Bukit Mesjid, dan mengajar murid-muridnya di sebuah ngalau (gua). Cerita rakyat menyebutnya sebagai sosok berilmu tinggi yang mampu menyembuhkan orang sakit dan menurunkan ilmu perdukunan kepada orang yang disukainya. Namun tak ada yang tahu pasti siapa dia sebenarnya, manusia, jin Islam, atau sosok di antara keduanya.
Saiful Guci menulis kembali kisah yang diwariskan turun-temurun itu: suatu hari dua perempuan dari Taeh datang kepada Datuk Soyiah meminta obat. Sang anak gadis rupawan bersikap congkak dan menolak mengakui ibunya yang tua dan buruk rupa. Ketika keduanya melewati rawa di Kapalo Koto, si gadis tenggelam dan hanya selendangnya yang tersisa di permukaan air. Sejak itu rawa tersebut disebut Rawang Tangkuluak. Masyarakat percaya, sejak peristiwa itu Datuak Soyiah tetap tinggal di Batu Biliak, menjaga keseimbangan antara dunia manusia dan dunia roh.
Menhir, batu tegak yang menjadi pusat dari semua situs ini, berasal dari kata Breton “men” (batu) dan “hir” (tegak). Di Minangkabau, batu-batu seperti ini dikenal sebagai batu mejen atau batu mejan, dari bahasa Sanskerta mejan yang berarti batu tanda kuburan. Dalam kepercayaan masyarakat purba, roh orang mati tidak lenyap ia tinggal di puncak gunung, tempat yang dianggap suci. Maka ketika seorang kepala suku meninggal, menhir ditanam di atas kuburnya, berdiri tegak sebagai tanda penghormatan sekaligus jembatan bagi roh menuju alam tinggi. Tinggi rendahnya batu menandakan derajat sosial orang yang dimakamkan. Semakin tinggi kedudukannya, semakin menjulang pula batunya.
Beberapa menhir di Belubus memiliki bentuk setengah lonjong dengan sisi bergerigi. Para peneliti menduga bentuk ini menandai makam hulubalang, orang keempat dalam struktur adat urang nan ampek jinih, sekelas prajurit yang berani, tajam, dan tegas. Setiap menhir besar biasanya diapit batu-batu kecil yang sederhana. Saiful Guci menulis bahwa batu-batu kecil itu dipercaya sebagai kuburan para pengikut, pelayan atau pengawal sang pemimpin semasa hidup. Ketika pemimpin meninggal, mereka turut dikuburkan di dekatnya sebuah pengorbanan yang dianggap menjaga kesetiaan hingga alam baka. “Arwah pemimpin harus tetap memiliki pengiring,” tulisnya, “agar kelak di puncak meru, ia tidak berjalan sendiri.”
Ekskavasi di beberapa lokasi memperlihatkan posisi jenazah yang tidak selalu sejajar menandakan bahwa pemakaman dilakukan dengan ritus tertentu, berbeda dari tata cara kubur Islam atau Hindu. Batu kerbau di Belubus juga menjadi penanda penting: meskipun tidak ditemukan dolmen atau meja batu tempat sesaji seperti di situs-situs lain di Sumatera Selatan atau Flores, ukiran kepala kerbau menegaskan bahwa ritual agraris dan keagamaan menjadi poros kebudayaan masyarakat megalitik di sini.
Dalam konteks itu, kerbau tidak hanya sekadar hewan. Ia adalah penyambung antara bumi dan langit, lambang dari kesuburan yang mesti dipelihara. Hingga kini, dalam ritual adat Minangkabau, makna itu masih bertahan kerbau disembelih bukan sekadar simbol, tapi juga doa agar kehidupan tetap subur dan manusia tak kehilangan arah terhadap alam.
Perjalanan berlanjut ke Nagari Tujuh Koto Talago, tepatnya di Jorong Padang Kandis, tempat berdirinya situs Punden Berundak di Bukit Sandaran. Dari kejauhan, susunan batu itu tampak seperti tangga menuju langit. Ada 36 balok batu tersusun berundak, dari dasar hingga puncak yang hanya menyisakan satu batu besar di atasnya. Panjangnya sekitar 4,8 meter, lebarnya 4 meter, dengan tinggi hampir 3 meter. Arah hadapnya ke timur, lereng bukit dengan kemiringan enam puluh derajat.
Waktu membuat beberapa bagian patah, terutama di sisi utara. Sekitar dua meter dari punden utama, terdapat tumpukan kubus batu berukuran 40x40x30 sentimeter. Ada enam tumpukan dalam jarak tidak beraturan, membentuk pola menyerupai segilima yang tak simetris. Dari tiap tumpukan, terbentang jejeran batu tegak yang tampak seperti penunjuk jalan menuju puncak bukit. Beberapa arkeolog memperkirakan situs ini dulunya merupakan pusat upacara pemujaan atau tempat penguburan berjenjang, simbol transisi dari dunia fana menuju dunia roh.
Lima Puluh Kota, dengan segala peninggalannya, adalah arsip terbuka dari masa lampau. Ia mengajarkan bahwa peradaban tidak hanya tersimpan di naskah atau kitab, tetapi juga pada batu-batu yang menatap langit dan cerita rakyat yang bertahan di lidah orang kampung. Di sela semak belukar dan beringin tua, masa lalu masih bernapas.