Di pusat Kota Payakumbuh, di antara berdesakan nya bangunan, yang kini mulai terdesak oleh beton dan gedung-gedung toko, berdirilah Koto Nan Ampek salah satu nagari tua yang menjadi sendi bagi Luhak Limo Puluah.
Suasana kawasan itu kini memang ramai, kendaraan berseliweran dan spanduk pembangunan menghiasi setiap simpang. Tapi jika melangkah sedikit ke dalam, suasana tradisional masih bisa dirasakan: gonjong rumah gadang menjulang di antara rumah batu yang kokoh. “Koto nan Ampek kuat memegang adat yang tak lakang dek paneh, tak lapuak dek hujan; walau rumah-rumah batu yang terlihat mewah telah berdiri kokoh, namun rumah-rumah Gadang tetap tegak dengan gonjong menjulang, mungkin melebihi kokohnya rumah-rumah batu itu,” tulis Apria Putra dalam catatannya, menandai bahwa adat dan agama berjalan beriringan di sini.
Dari tanah adat yang kukuh itulah lahir Engku Alwi Ibrahim, atau yang dimasyhurkan orang sebagai Tuanku Alwi Koto nan Ampek. Dalam ingatan orang-orang tua di Koto Nan Ampek, namanya bukan sekadar guru mengaji, tapi ia adalah ulama pembangun peradaban. Ia lahir pada tahun 1878 di Kubu Gadang, dari seorang ayah bernama Ibrahim, yang juga dikenal alim dan disegani masyarakat. “Engku Alwi lahir pada tahun 1878 di Kubu Gadang, Koto nan Ampek. Ayah beliau, Ibrahim, juga terpandang sebagai orang ‘alim di kampung itu,” tulis Apria Putra lagi, memberi gambaran bahwa darah keulamaan telah mengalir sejak ia kecil.
Kehidupan di Minangkabau akhir abad ke-19 memang penuh semangat mencari ilmu. Di tiap surau, nyala pelita tak pernah padam, tanda bahwa anak-anak muda tengah menekuni kitab kuning. Di sinilah Engku Alwi menempuh jalan keilmuannya. Catatan Apria menyebutkan bahwa ia berguru kepada Syekh Muhammad Sa’ad Al-Khalidi Mungka (1859–1922), ulama besar yang dijuluki Syaikhul Masyaikh guru dari sekalian guru. Dari Mungka-lah ia belajar tentang fiqih dan nahwu, tentang cara memahami teks sekaligus menjaga konteks, tentang bagaimana ilmu agama menjadi jalan hidup, bukan sekadar hafalan.
Setelah menamatkan pelajarannya, Engku Alwi kembali ke kampung halaman. Ia membuka surau kecil. Surau itu sederhana: berdinding papan, beratap ijuk, beralas tikar pandan. Tapi di situlah cikal bakal pendidikan Islam tradisional tumbuh subur. Pengajarannya dilakukan dengan cara lama ’kaji duduak’, di mana murid mengelilingi guru dalam halaqah kecil. Ilmu yang diajarkan hanya dua: Nahwu dan Fiqih. Namun, dua ilmu itulah fondasi yang membentuk generasi ulama Minangkabau.
Di surau itu, kitab-kitab seperti Ajrumiyah, Azhari, dan Qathar Nida menjadi teman sehari-hari urang siak. Untuk fiqih, digunakan Matan Taqrib dan I’anatut Thalibin. Apria Putra menulis, “Ajrumiyah merupakan kitab Nahwu yang klasik, disusun dengan sistematis, mudah dipahami, penting untuk orang-orang siak yang mula belajar ilmu alat.” Dengan sistem demikian, pelajaran berlangsung ketat dan bertingkat. Satu kitab bisa dikhatamkan berkali-kali. Ada murid yang disebut menamatkan Qathar Nida sembilan kali di hadapan gurunya. “Itu bukan karena lupa,” kata salah seorang pewaris tradisi di sana, “tapi karena ilmu harus dicerna sampai ke hati.”
Perlahan, surau kecil itu mulai dikenal. Orang-orang siak berdatangan dari Mungka, Taeh, Gunuang Omeh, bahkan dari Kuantan dan Riau. Nama Engku Alwi disebut-sebut sebagai guru yang lembut, tetapi tegas; mengajar dengan kesabaran seorang ayah dan ketegasan seorang hakim. Ia tak hanya mendidik akal, tetapi juga adab. Murid-muridnya kemudian menjadi tulang punggung pendidikan Islam di banyak tempat.
Sekitar awal 1930-an, dunia pendidikan Islam di Minangkabau memasuki fase baru. Kaum Tua ulama-ulama tradisional merasa perlu memperkuat posisi mereka menghadapi gelombang pembaruan dari Kaum Muda. Dari sinilah lahir organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), yang dipelopori oleh tokoh besar seperti Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Syekh Abbas Qadhi, dan Syekh Djamil Jaho. Dalam daftar pendiri itu, tercatat pula nama Tuanku Alwi dari Koto nan Ampek. “Tuanku Mudo Alwi juga tercatat sebagai salah seorang ulama Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) dan yang ikut membidaninya,” tulis Apria Putra, menandai peran penting sang guru dalam sejarah gerakan ulama tradisional.
Sebagai respon terhadap keputusan rapat besar ulama di Candung tahun 1928, Engku Alwi mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Pakan Sinayan, yang terletak persis di tepi jalan raya Koto Nan Ampek. “Persis di tepi jalan raya Koto Nan Ampek, masih berdiri sebuah sekolah yang usia lumayan lama, Madrasah Tarbiyah Islamiyah Pakan Sinayan,” tulis Apria Putra. Kini bangunannya tampak baru karena pemugaran, tapi dulunya, tempat itu adalah pusat keilmuan yang ramai, tempat santri menimba ilmu dari berbagai penjuru Minangkabau.
MTI Pakan Sinayan berdiri di masa peralihan, ketika dunia pesantren tradisional harus beradaptasi dengan sistem madrasah modern. Engku Alwi menjadi jembatan antara dua sistem itu. Ia tetap menjaga ruh keilmuan surau dengan halaqah, kitab kuning, dan disiplin klasik namun mulai memperkenalkan metode pembelajaran yang lebih terstruktur. “MTI Koto Nan Ampek sejak itu menjadi salah satu lembaga pendidikan Islam tradisional yang masyhur seantero negeri,” tulis Apria Putra, menggambarkan reputasi madrasah yang sempat menampung lebih dari 500 santri, bahkan dari luar Sumatra Barat: Aceh, Jambi, Bengkulu, Palembang, hingga Malaysia.
Dalam gaya mengajarnya, Engku Alwi tidak sekadar menyampaikan teks kitab. Ia selalu menyelipkan pesan moral dan kebangsaan. Ia memahami bahwa kemerdekaan sejati tidak hanya diperjuangkan dengan senjata, tapi juga dengan kecerdasan dan akhlak. Di tengah muridnya, ia seperti mata air yang menyejukkan, tidak tinggi suara, namun dalam kata-katanya tersimpan api semangat Islam yang membebaskan.
Di luar madrasah, Engku Alwi dikenal sebagai pendakwah yang rajin mengajar di Pasar Payakumbuh. Di tengah hiruk pikuk jual beli, ia duduk di atas tikar pandan, memberikan pengajian kepada pedagang dan pembeli yang singgah. “Ia tak pernah membedakan siapa yang datang,” kenang salah satu generasi tua di Koto nan Ampek. “Yang datang bisa tukang sayur, bisa penghulu, bisa pejabat nagari semuanya duduk bersila di tanah yang sama.” Dalam pandangan Apria Putra, cara berdakwah seperti itu “adalah terobosan yang sangat persuasif dalam berdakwah,” karena membawa ilmu ke tengah denyut kehidupan sehari-hari.
Engku Alwi juga dikenal sebagai sosok yang bersahaja dalam kehidupan pribadinya. Sebagaimana ulama Minangkabau tempo dulu, ia menikah lebih dari satu kali. Tiga istri, masing-masing dari nagari sekitar seperti Balai nan Duo, Tanjung Pauh, dan Balai Panjang. Tapi kehidupan rumah tangganya tidak pernah mencolok. Ia lebih sering terlihat di surau daripada di rumah. “Ia hidup untuk ilmu,” kata Apria Putra dalam satu wawancara. “Seluruh waktunya dipakai untuk mendidik dan menanamkan nilai-nilai agama.”
Engku Alwi wafat pada tahun 1940. Namun, menurut catatan beberapa murid, 1941 dalam usia sekitar 63 tahun. Ia meninggal dunia tidak lama setelah memberikan pengajian di Pasar Payakumbuh, tempat ia biasa menebar ilmu kepada orang banyak. Pemakamannya dihadiri ratusan murid dan masyarakat dari berbagai daerah. Seorang murid tua mengenangnya dengan sederhana, seorang guru yang tidak meninggalkan harta, tapi meninggalkan ilmu dan teladan. Dan itulah warisan yang tak pernah habis.
Setelah ia wafat, kepemimpinan MTI Pakan Sinayan dilanjutkan oleh Zulkarnaini Thaher, murid setianya yang dikenal dengan julukan Angku Karak. Di bawah kepemimpinannya, madrasah itu tetap menjadi pusat belajar agama sampai dekade 1980-an. Tapi seiring perubahan zaman, sekolah agama mulai tersaingi oleh madrasah modern dan sekolah umum. Perlahan, MTI Koto nan Ampek kehilangan gemanya. Namun, di tengah sunyi, nilai-nilai yang pernah ditanamkan Engku Alwi tetap hidup dalam doa, dalam kitab yang masih dibaca, dalam semangat masyarakat yang terus menghormati ulama.
Kini, jika seseorang melintas di depan Madrasah Tarbiyah Islamiyah Pakan Sinayan, mungkin hanya melihat bangunan yang telah dipugar, nyaris tanpa tahu bahwa di situlah pernah berdiri salah satu pusat ilmu Islam paling berpengaruh di Luak Lima Puluh Kota. Di balik dinding sekolah itu, ada sejarah panjang tentang perjuangan seorang ulama yang menjadikan pendidikan sebagai jalan pembebasan umat.
Apria Putra dalam bukunya menulis, “Engku Alwi bukan hanya guru yang mengajarkan ilmu, tapi juga membangun kesadaran. Ia mengajarkan bahwa Islam tidak cukup dipelajari, tapi harus dihidupi.” Sebuah kalimat yang menegaskan betapa besar jasa ulama yang satu ini.
Kini, ketika modernitas sering kali melupakan akar, kisah Engku Alwi Ibrahim menjadi pengingat: bahwa kemajuan tidak akan berarti tanpa akar tradisi yang kuat. Ia bukan hanya ulama dari Koto nan Ampek, tapi juga simbol sintesis antara adat dan agama, antara surau dan madrasah, antara pengetahuan dan kebijaksanaan. Dari sanalah, sejarah pendidikan Islam di Payakumbuh dan Luak Lima Puluh Kota menemukan ruhnya yang sejati.
Di samping itu, pada Senin, 12 Mei 2025 lalu, di aula di kompleks MTI Koto Nan Ampek menjadi saksi musyawarah besar yang penuh kekhidmatan. Dari empat jorong penting Pakan Sinayan, Kubu Gadang, Bulakan Balai Kandi, dan Tanjuang Gadang, para niniak mamak, alim ulama, cadiak pandai, serta alumni berkumpul untuk satu tujuan: membangkitkan kembali marwah lembaga pendidikan Islam yang pernah melahirkan para ulama dan pemikir besar di Payakumbuh.
Musyawarah dipimpin oleh Buya Amsal Nur, dengan Musfar Dian Rudi Putra sebagai notulis. Dari unsur niniak mamak hadir Dt. Payuang Omeh, Dt. Bandaro Kayo, Dt. Pangulu Sati dari Kubu Gadang, serta Dt. Majo Kayo dari Bulakan Balai Kandi. Sementara dari Tanjuang Gadang tampak Dt. Simarajo Lelo dan Dt. Ongguang Nan Putiah. Turut hadir pula Buya H. Abu Bakar Shiddiq mewakili alumni, bersama pengurus masjid se-Sakoto Ka Ateh, para ketua LPM, dan tokoh masyarakat dari empat jorong yang menjadi sendi nagari ini
Dalam musyawarah itu melahirkan keputusan penting: terbentuknya kepengurusan baru MTI Koto Nan Ampek periode 2025–2030. Susunan pengurus harian yang terpilih adalah:
Ketua: H. Nazarudin
Wakil Ketua: Amsal Nur
Sekretaris: Musfar Dian Rudi Putra
Wakil Sekretaris: H. Ibrahim
Bendahara: Defitri Dt. Simarajo Lelo
Kepengurusan ini diperkuat dengan beberapa seksi yang akan menjadi motor penggerak kegiatan.
Seksi Keuangan dikoordinatori oleh Buya Nasrul N, dibantu oleh Indra Yenita, Dt. Bandaro Kayo, Adrivel, Yeni Warce, dan Fadila Erza.
Seksi Pendidikan dan Dakwah dipimpin oleh Buya H. Hamdi Sofyan, Lc., Msy. bersama Dt. Pangulu Sati, Hj. Ayu Puspita, Hasrizal, S.Pd., Rahma Yulis, dan H. Yasril.
Sementara Seksi Sosial dan Humas diketuai oleh Amirudin, dengan anggota Dt. Majo Kayo, Teguh, Zulkifli, Aminudin, Buya Syafri, dan Muthia Darmawansyah.
Adapun Seksi Pembangunan dan Pengembangan berada di bawah koordinasi Buya Asrinaldi, dengan anggota Dt. Ongguang Nan Putiah, Dt. Payuang Omeh, H. Syafri Mansyur, Mulyadi, dan Mesdi.
Formasi ini menandai babak baru perjalanan Tarbiyah Pakan Sinayan, lembaga yang dulu menjadi mercusuar keilmuan Islam di Payakumbuh. Di tangan pengurus baru ini, harapan tumbuh agar MTI Koto Nan Ampek kembali berdenyut sebagai pusat pendidikan yang melahirkan insan berilmu dan berakhlak, seimbang antara dunia dan akhirat.
