Mengenal Tradisi Malakok di Minangkabau dan Dinamika yang Berjalan di Dalamnya

Di Minangkabau, identitas bukan sekadar garis keturunan, tapi juga bentuk jaringan sosial yang terjalin melalui adat, suku, dan hubungan kekerabatan.

Salah satu bentuk kearifan yang memperkuat ikatan itu adalah tradisi malakok, sebuah sistem sosial di mana keluarga perantau diterima menjadi bagian dari suatu suku di nagari baru.

Dalam pandangan orang Minang, merantau tidak hanya soal berpindah tempat, tapi juga berpindah ikatan sosial. Maka sebelum menetap, mereka mencari mamak atau induk semang, paman dan keluarga yang akan menaungi, karena seperti kata pepatah adat, “di mana ranting dipatah, di situ air disauk.”

Secara adat, keluarga yang malakok*l disebut kemenakan di bawah lutut, sebuah istilah yang menandai penerimaan mereka dalam struktur sosial kaum baru. Biasanya, penerimaan ini didasari oleh dua jenis hubungan: bertali budi dan bertali emas. Hubungan bertali budi muncul karena kedekatan emosional dan moral kerap kali karena ketaatan dan ringan tangan keluarga pendatang dalam membantu kaum yang menaunginya.

Sementara, bertali emas memiliki dimensi ekonomi dan simbolik, di mana keluarga tersebut memberikan isi adat berupa sawah, kolam, atau sebatang kelapa sebagai tanda ikatan resmi dengan kaum tempatnya malakok.

Dalam praktiknya, malakok memungkinkan keluarga pendatang menyandang suku dari kaum yang menerimanya. Ketika kelak mereka menggelar hajatan adat seperti pernikahan, aqiqah, atau turun mandi, maka tanggung jawab sosial dan seremonialnya dipikul bersama oleh seluruh anggota kaum itu. Begitu pula saat terjadi kemalangan, para mamak dan bundo kanduang dari suku yang sama akan turun tangan terlebih dahulu. Solidaritas ini menunjukkan betapa sistem kekerabatan Minangkabau bukan hanya warisan genealogis, tapi bisa dalam bentuk jaringan sosial yang berfungsi nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Di samping itu, malakok tak terbatas bagi etnis Minang saja. Etnis lain seperti Jawa, Mandailing, atau Melayu, Banjar yang bermukim di wilayah Minangkabau pun dapat melakukan malakok ke salah satu suku di nagari tempat tinggalnya. Setelah proses itu, mereka dan keturunan perempuannya akan mewarisi suku dari kaum yang menaunginya. Di sini, adat Minangkabau dapat diterjemahkan ke dalam fleksibilitas sosial yang tinggi, membuka ruang bagi integrasi budaya tanpa kehilangan akar identitas.

Namun, di tengah derasnya arus modernisasi, tradisi malakok perlahan memudar. Munculnya perumahan bersubsidi dan mobilitas sosial yang kian cair menjadikan orang-orang dari luar Minang bebas menetap di suatu daerah tanpa ikatan adat.

Acara adat kini lebih sering digantikan oleh pesta modern, dilaksanakan di gedung-gedung sewaan, diatur oleh jasa catering, tanpa kehadiran penghulu atau ninik-mamak. Dari hari ke hari, peran mereka sebagai penjaga nilai adat kian menipis di tengah masyarakat yang makin pragmatis.

Kini, malakok bukan sekadar tradisi yang mulai jarang terlihat, tapi ia juga cermin perubahan besar dalam struktur sosial Minangkabau. Sekaligus menjadi penanda bagaimana kebudayaan yang dahulu berakar pada gotong royong dan kekerabatan bertransformasi menjadi hubungan yang lebih individualistik.

Dan seperti yang sering dibilang para tetua nagari, “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” sebuah pepatah yang terus menggema, tapi mungkin kian kehilangan maknanya di tengah dunia yang serba cepat dan serba sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *