Mengenang Almarhum Buya H. Ongku Mudo Sawir Taram: Setengah Abad di Surau Subarang

Malam itu, Selasa, 28 Maret 2023, sekitar pukul 23.35 WIB, kabar duka menyebar dari Taram, Lima Puluh Kota. Buya H. Ongku Mudo Sawir, ulama karismatik Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah dan Sammaniyah Khalwatiyah, berpulang dalam usia 72 tahun. Sudah dua tahun sejak kepergiannya, tetapi gema ajarannya masih terasa di surau-surau dan di hati para muridnya.

Selama lebih dari setengah abad, Buya Sawir duduk di Surau Subarang, tempat yang menjadi rumah spiritualnya. Pada usia 21 tahun ia telah menerima ijazah irsyad dari datuknya, Syekh Duhan Datuak Mongguang. Sejak 1970, selepas wafat datuknya, ia resmi memimpin halaqah suluk. Lima puluh tiga tahun lamanya ia mendidik murid-murid tarekat, hingga ajal menjemput.

Kisah ketajaman batin Buya Sawir menjadi buah tutur banyak orang. “Pernah suatu waktu, seseorang membawa beberapa teman,” ujar seorang murid. “Beliau hanya menanyakan nama-nama mereka, lalu langsung menilai keseharian dan tingkah laku. Kami tercengang.” Kemampuannya membaca wujud dan tabiat murid membuatnya dijuluki shahibul kasyf wal wijdan, zhahir, pemilik penyingkapan batin dan rasa.

Akar spiritualnya panjang. Datuk buyutnya, Syekh Abdul Jalil Ongku Padang, berasal dari Simpang Kapuak Mungka, menerima ijazah irsyad Naqsyabandiyah Khalidiyah dari Maulana Syekh Abdul Wahid Asshalihi Baliau Tobek Godang, tokoh besar PERTI, sekaligus pernah berguru ke Kumango. Kakeknya, Syekh Duhan Datuak Mongguang, masyhur di Limapuluh Kota dan Agam, wafat sekitar 1970. Surau Subarang yang mereka dirikan sejak akhir abad ke-19 menjadi warisan berharga, berdiri di seberang Batang Sinamar, karena itulah disebut “Subarang”.

Sejak kecil Buya Sawir ditempa keras oleh datuknya. Riyadhah suluk dijalani dengan disiplin. Pendidikan itu diperkuat dengan bimbingan ulama sepuh Al-Arif billah Syekh Abdul Aziz Simpang Abu, Mungka, yang kala itu berusia 170 tahun. Lima tahun didikan tambahan itu meneguhkan sikap istiqamah dan prinsipnya yang kokoh.

Meski kedudukannya tinggi, Buya Sawir hidup dalam kesederhanaan. Pakaian sehari-harinya hanya kopiah putih, sarung, dan kaos lengan pendek. “Jarang sekali beliau memakai baju panjang,” kenang seorang murid. Kesahajaan itu seolah menjadi cermin dari prinsip tarekat: menanggalkan kemewahan, merawat ketulusan.

Apria Putra, salah seorang yang dekat dengannya, mengenang ungkapan Buya yang masih lekat hingga kini: “Yang berhasil itu (menjadi Syekh mursyid), ialah mereka yang tidak karena ‘sayang’ guru, bukan pula karena lama khidmat, namun karena memang semata-mata pemberian dari Allah Ta’ala.” Sebuah petuah yang menggambarkan pandangannya: kepemimpinan spiritual bukan hasil loyalitas semata, melainkan limpahan karunia.

Kini, Surau Subarang tetap berdiri, meski tak lagi sama. Generasi murid-muridnya meneruskan suluk yang ditanamkannya selama lebih dari lima dekade. Waktu mungkin akan menghapus banyak jejak, tetapi kisah Buya Sawir, ulama sederhana dengan pandangan tajam, akan terus bergema di lembah Minangkabau.

Seperti sungai Sinamar yang mengalir di depan surau, ajarannya tetap mengalir tenang, jernih, tapi pasti sampai ke hati.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *