Pada malam-malam tertentu di Batuhampar, jika orang lewat di Kampung Dagang pada awal abad ke-20, mereka akan menemukan pemandangan yang tak biasa. Sorot lampu damar dari lebih dari tiga puluh surau memecah gelap, dan dari dalamnya terdengar dengung lantunan ayat-ayat suci.
Bukan satu dua suara, tetapi ratusan berlapis, bersahut, bergemuruh seperti kawanan lebah. Di sinilah, selama lebih dari satu setengah abad, pusat Qira’at Tujuh dan Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah berdiri tegak di ranah Luhak Limo Puluah. Dan dari pusat spiritual serta keilmuan yang padat itu, nama seorang ulama muncul sebagai poros zaman: Syekh Muhammad Arsyad Batuhampar.
Ia lahir dari rahim keluarga besar ilmu agama maulana, murabbi, dan sufi. Ayahnya, Syekh Abdurrahman Al-Khalidi, sang “Baliau Keramat Batuhampar”, bukan hanya tokoh besarnya. Ia adalah pondasi religius yang mengubah sebuah nagari kecil menjadi magnet keilmuan lintas wilayah. Di pangkuan, di surau, dan di jalan-jalan kecil Kampung Dagang, Arsyad kecil ditempa disiplin, dibesarkan dalam ritme zikir dan kajian al-Qur’an. Apria Putra dalam tulisannya mengatakan bahwa “ayahnya yang dikenal sebagai ahli ilmu al-Qur’an dan seorang sufi kenamaan telah menempa jiwa Arsyad kecil dengan rasa beragama, sehingga ia kemudian hari juga seperti orang tuanya ini, haus dan cinta akan ilmu agama.”
Kegigihan itu menghantarnya jauh ke luar tanah kelahiran. Ia belajar ke Mekah, kemudian ke Mesir, Baitul Maqdis, hingga Istanbul sebuah rute intelektual yang hanya ditempuh sedikit ulama nusantara pada masanya. Di Mekah, ia mengkhatam Qira’at Tujuh dari Syekh Abdullah al-Asyi dan memperoleh ijazah. Dalam thariqat, ia menerima irsyad langsung dari ayahnya, tanda dirinya telah dipercaya untuk membimbing suluk.
Namun kepulangannya ke Batuhampar bukan sekadar kembali sebagai ulama dengan sanad panjang dan legitimasi otoritatif. Sepeninggal ayahnya, Kampung Dagang diserahkannya ke tangan Arsyad untuk dipimpin secara spiritual dan adat. Ia memikul dua peran sekaligus: ulama tarekat dan Datuak Oyah pemangku adat yang memutus perkara keagamaan. Di masanya, perkampungan itu berkembang pesat. Anak Siak berdatangan dari Riau, Jambi, Aceh, Bengkulu, Sumatra Timur, bahkan Semenanjung Malaya. Ribuan orang menimba ilmu, ribuan pula pulang membawa sanad.
Malam hari di Batuhampar menjadi metafora peradaban. Surau dua lantai berdiri rapat, masing-masing dengan aktivitas intens: murid mengulang kaji, guru mengoreksi bacaan, sementara suara al-Qur’an menyatu dalam dengung tak putus. Apria Putra sejarawan ulama Minangkabau menjelaskan bahwa “bila mereka membaca al-Qur’an di malam-malam hari, bunyinya seperti degungan lebah terbang, saking banyaknya.” Di kampung kecil itu, waktu seakan punya ukuran tersendiri: selesai suluk adalah awal suluk berikutnya, selesai belajar adalah awal mengajar kembali.
Namun Arsyad bukan hanya ulama tasawuf atau ahli qira’at. Ia juga arsitek. Menara Batuhampar yang kini menjadi ikon nagari tinggi, bergaya Timur Tengah, lengkap dengan beberapa kamar di bawahnya adalah hasil sketsa dan tangan dinginnya. Dibangun pada 1923, menara itu menjadi penanda presisi intelektual dan keterampilan teknis yang jarang dimiliki seorang ulama pada masa tersebut. Ia juga seorang khattat. Catatan hariannya, rapi dan sistematis: tanggal, lokasi pembelian kitab, serta kejadian penting hidupnya ia dokumentasikan tanpa jeda. Ketelatenan yang sejalan dengan kedalaman spiritualnya.
Dalam sejarah Tarekat Naqsyabandiyah, peran Arsyad tak bisa dilepaskan dari satu momen penting: ketika ia beradu pandangan dengan Syekh Sulaiman Ar-Rasuli Canduang, murid Syekh Ahmad Khatib yang kala itu menjadi pengkritik Naqsyabandiyah. Diskusi keduanya berlangsung intens hari itu, dua otoritas keilmuan saling menguji. Di hadapan Arsyad, Syekh Sulaiman akhirnya mengakui kekhilafannya dan menangis. Ia masuk suluk di Batuhampar, menerima ijazah, dan kemudian menjadi pembela tarekat yang gigih di Minangkabau. “Syekh Sulaiman menangis di hadapan syekh tersebut,” tulis Apria Putra kutipan yang menegaskan bukan hanya kapasitas intelektual Arsyad, tetapi daya spiritualnya.
Ketokohannya juga memiliki simpul menarik dengan sejarah Indonesia modern. Ia adalah bapak tuo dari Bung Hatta, keduanya merupakan keturunan dari Syekh Abdurrahman Batuhampar. Dua garis besar tasawuf dan penggagas kemerdekaan bermuara pada satu pusat keluarga yang sama.
Waktu mengalir, tetapi narasi tentang Arsyad tak pernah benar-benar meredup. Para muridnya bertebaran ke banyak wilayah, mengajarkan suluk dan qira’at, membawa watak Batuhampar ke berbagai pesantren dan surau. Salah satu anaknya, Syekh Arifin Batuhampar, bahkan menjadi pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
Bagi sebagian orang, kharisma Arsyad mungkin hanya tinggal cerita. Namun bagi peziarah spiritual, Batuhampar bukanlah nostalgia kosong. Apria Putra sendiri, mengaku memiliki hubungan personal melalui sanad tarekat. Setiap bulan ia mengunjungi Gobah Baliau Batuhampar untuk berziarah. Ia menyebutkan bahwa “saat itu suluk dipimpin Angku Gobah, sedangkan mursyid ialah Syekh Damrah Arsyadi (anak Syekh Arsyad). Guru saya merupakan murid satu-satunya yang ‘cemerlang’ suluknya saat itu.” tulis Apria. Satu baris pernyataan yang menjelaskan bagaimana sosok Arsyad bukan hanya sejarah; ia masih hidup dalam sanad spiritual.
Kini, Batuhampar tak lagi dipenuhi dengung murid seribu. Tetapi menara itu masih berdiri, surau-surau masih dipakai, dan Kampung Dagang tetap menyimpan napas keilmuan. Warisan Arsyad tersimpan bukan pada monumentalitas fisik, tetapi pada mata rantai pengetahuan: sanad, zikir, qira’at, tulisan, akhlak.
Dan ketika seseorang berdiri di halaman Gobah Baliau saat senja, mudah membayangkan bahwa pada titik inilah pernah berdiri seorang ulama yang menghubungkan Minangkabau dengan Timur Tengah, tarekat dengan intelektualitas, dan kerendahan hati dengan kewibawaan ilmu. Di tempat senyap itu, gema lampu damar dari masa lalu terasa masih menyala.
