Rabu Pagi, 8 Oktober 2025, langit di atas Nagari Sungai Talang tampak pucat. Dari Jorong Belubus, kabar duka menyebar pelan tapi pasti: Buya Markasni, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Buya Maredek, wafat di usia 65 tahun di kediamannya di Jorong Belubus, Nagari Sungai Talang, Kec. Guguak, Kab. Lima Puluh Kota. Seorang pewaris ilmu tua yang bukan hanya sekadar warisan gerak tubuh, tapi juga zikir dan ruh dari kebudayaan Minangkabau yang kian menipis di telan waktu.
Buya Maredek lahir pada 12 Januari 1960 di Simpang Sugiran. Ia tumbuh dalam lingkungan surau, di mana bunyi langkah silek terdengar berbaur dengan lantunan ayat dan salawat. Ia adalah murid langsung dari Syekh Habib Ongku Rancak, tokoh kharismatik di Surau Belubus yang namanya masih disebut penuh takzim oleh murid-muridnya hingga kini. Di surau itu, Buya Maredek menahun menimba ilmu, belajar “basilek” di bawah bimbingan sang guru, hingga akhirnya mahir dan dipercaya mengajarkan kembali kepada generasi setelahnya.
Silsilah keilmuan Buya Maredek bersambung rapat pada Maulana Syekh Mudo Abdul Qadim, pendiri Silek Kumango Belubus. Dari jalur ini, sanad keilmuan yang ia bawa menjadi jembatan panjang antara spiritualitas Islam dan gerak bela diri Minangkabau. Di tangan Buya Maredek, silek bukan sekadar warisan tubuh, tapi juga laku batin.
Di Surau Belubus, malam minggu selepas Isya, langkah-langkah para murid terdengar serempak. Di bawah arahan Buya Maredek, mereka berlatih dengan penuh semangat, sementara Buya Maredek mengamati satu-satu dengan pandangan teduh. Bila surau tak cukup menampung, latihan berpindah ke halaman surau, sesekali juga berlangsung di halaman rumah beliau. Dari Ompang, Bukit Apit, Simpang Sugiran, hingga Taeh Baruah, dan banyak daerah lain, murid-murid datang, belajar, dan pulang membawa ilmu. Puluhan bahkan ratusan murid telah beliau ajari, di antaranya kini sudah menjadi guru di tempat masing-masing.
Setiap latihan selalu berakhir dengan nasihat keagamaan. Setelah tubuh lelah menapak langkah dan menekuk tangan, lidah mereka bersama melantunkan Shalawat Tafrijiyah. Bagi Buya Maredek, silek tanpa zikir hanyalah gerak tanpa arah. Ia mewarisi keyakinan gurunya: bahwa Silek Kumango tak bisa dilepaskan dari ajaran agama.
Memiliki keterampilan basilek terutama bagi generasi muda Minangkabau itu perlu. Mengapa demikian? Sejatinya, tradisi itu sebenarnya sudah lama melekat di kalangan ulama Minangkabau. Nama-nama seperti Syekh Bustami Lintau, Syekh Abdullah Halaban, Syekh Abdurrahman Al-Khalidi Kumango, Syekh Mudo Abdul Qadim, Syekh Jamil Jaho, hingga Syekh Mahmud Abdullah Tarantang, semuanya dikenal sebagai alim sekaligus pendekar. Dalam catatan almarhum Syekh Yunus Yahya Magek, kepandaian bersilat / basilek di kalangan ulama memiliki dua maksud: sebagai jalan dakwah, terutama bagi generasi muda, dan untuk menambah muru’ah atau kehormatan seorang alim.
Silek Kumango, yang dinisbahkan pada Al-‘Arif billah Syekh Abdurrahman Al-Khalidi Kumango (Guru Syekh Mudo Abdul Qadim), murid dari Sayyid Muhammad Amin Ridhwan Madinah memiliki kekhasan tersendiri. Setiap gerakannya dibingkai dalam makna spiritual. Dari langkah Mim Ha Mim Dal hingga syarat wajibnya shalat bagi setiap murid, silek ini adalah pengamalan agama dalam bentuk tubuh. Filosofi yang diajarkan Syekh Kumango pun begitu dalam: “Zahir silek mancari kawan, batin silek mancari Tuhan.” Sebuah kalimat yang menjelaskan bahwa setiap gerakan adalah pencarian menuju Sang Pencipta, bukan sekadar pertahanan diri.
Silek Kumango tidak pernah dimaksudkan untuk dipertandingkan. Ia adalah perlawanan yang lembut, bela diri tanpa kebencian, pertempuran tanpa musuh. Seperti Tarekat yang menjadi napasnya, silek ini mengajarkan keseimbangan antara jasad dan ruh.
Mak Katik, budayawan Minangkabau yang masyhur dengan penguasaan kearifan lokalnya, juga sempat menimba ilmu di Surau Belubus pada 1976. Dalam sebuah forum diskusi pada Agustus 2024 lalu, ia mengenang masa itu dengan penuh takzim. Ia juga masih berulang dan juga bersilaturahmi dengan Datuak Paduko Mogek, cucu Syekh Mudo, yang masih mempertahankan tradisi latihan hingga ia wafat. Dalam kisahnya, Mak Katik menyitir pepatah lama yang menggema seperti mantra:
“Ka Lintau silek bamintak,
Ka Kumango tarikat putuih,
Tujuah kali mangabuang kain,
Sambilan jo sakin manyudahi.”
Kini, salah satu pewaris dari mata rantai panjang itu telah berpulang. Buya Maredek wafat setelah berjuang melawan penyakit prostat dan asam lambung yang dideritanya. Tapi surau, langkah, dan salawat yang ia ajarkan akan terus hidup di tubuh-tubuh muridnya. Ia mungkin telah pergi, tapi di setiap langkah silek yang menapak tanah Belubus, napasnya masih terasa.