Suatu siang, notifikasi muncul di kotak percakapan seorang pensiunan pejabat daerah. “Assalamu’alaikum Pak Saiful Guci, perkenalkan saya Herman dari Kapur IX. Dulu sekitar sepuluh tahun lalu saya pernah membaca tulisan Bapak tentang Batu Basurek di Nagari Koto Lamo Kecamatan Kapur IX. Setelah saya cari-cari, tidak saya temukan lagi. Apakah bisa dinaikkan kembali, Pak?” tulis Herman dengan nada nostalgia.
Pesan itu membawa ingatan Saiful Guci kembali pada masa ketika ia masih menjabat sebagai Kabag Humas di masa Bupati dr. Alis Marajo Dt. Sori Marajo, sekitar tahun 2010-an. Kala itu, dalam sebuah kunjungan ke Jorong Tanjung Bungo, Nagari Koto Lamo, mereka menemukan sebuah batu besar terikat akar pohon beringin tua. Di permukaannya tergurat aksara yang tak dikenali sebuah Batu Basurek, batu bertulis yang sejak lama menjadi bisik-bisik warga.
“Kalau tidak salah, tulisan itu saya buat sekitar lima belas tahun lalu,” ujar Saiful, yang kini lebih banyak menulis di Lapau eSPe Kasiah Bundo itu. “Batu itu ditemukan saat kunjungan bersama Bupati. Warga bilang, menurut cerita nenek moyang mereka, batu itu sudah ada sejak nagari ini dibuat. Tapi apa arti tulisannya, tak ada yang tahu sampai sekarang.”
Bagi masyarakat Koto Lamo, Batu Basurek bukan sekadar artefak. Ia menjadi penanda waktu, saksi diam dari perjalanan panjang kebudayaan di hulu Lima Puluh Kota. Dalam tambo yang diwariskan turun-temurun, disebutkan bahwa jauh sebelum Islam menyentuh ranah ini, di masa ketika Muaro Takus masih bernama Koto Sijangkang dan Batang Kampar disebut Sungai Ambun, berdirilah sebuah kerajaan bernama Indo Dunie dengan rajanya Dt. Rajo Dubalai sekitar abad ke-7 Masehi.
Ketika kerajaan itu berkembang, Raja Dubalai mengutus empat bangsawan untuk mencari wilayah baru bagi rakyatnya: Dt. Bandaro Sati, Dt. Bandaro Kuniang, Dt. Bandaro Hijau, dan Dt. Bandaro Kayo. Mereka menelusuri hulu Batang Kampar, menyusuri sungai-sungai kecil hingga menetap di hulu Batang Kopu. Di sanalah awal mula Nagari Koto Lamo terbentuk, setelah empat suku dua di Kapua Kociak, dua di Kapua Godang bersepakat menjadikan wilayah itu pusat permukiman.
Batu bertulis itu dipercaya menjadi titik awal peradaban Koto Lamo. Di sanalah para perintis nagari pertama kali menegakkan tatanan adat dan kepercayaan yang bercampur antara ajaran Hindu-Buddha dan keyakinan lokal. Namun seiring masuknya Islam sekitar tahun 680 M melalui jalur Muaro Sabak, nilai-nilai lama itu perlahan bergeser. Batu Basurek kemudian menjadi tempat ziarah dan meditasi menyisakan bentuk sinkretisme yang mencampurkan tasawuf awal dengan tradisi Hindu dan Buddha.
Beberapa akademisi menilai keberadaan batu seperti ini bukan hal asing di wilayah Minangkabau bagian timur. “Batu bertulis sering muncul di daerah yang punya hubungan historis dengan pusat kebudayaan tua seperti Muaro Takus, juga bahkan. Di samping itu, biasanya bertuliskan aksara Pallawa atau varian Sansekerta yang menunjukkan pengaruh Hindu-Buddha awal. Kalau benar Batu Basurek Koto Lamo berasal dari abad ke-7, ini temuan yang sangat signifikan.
Sementara itu, ada juga yang melihatnya atau memandang Batu Basurek sebagai simbol identitas kolektif yang terpinggirkan oleh modernitas.
Masyarakat Koto Lamo sebenarnya tidak hanya mencari arti tulisan pada batu itu. Mereka pada dasarnya sedang mencari makna diri asal-usul yang mulai pudar. “Ketika warisan sejarah tidak lagi dimengerti, ia berubah menjadi mitos, lalu lambat laun hanya tinggal cerita.”
Hingga kini, Batu Basurek itu masih terjepit akar beringin tua di Tanjung Bungo. Permukaannya lembap, huruf-hurufnya mulai pudar dimakan lumut dan waktu. Tak ada yang tahu pasti apa yang tertulis di sana. Tapi bagi masyarakat Koto Lamo, batu itu bukan sekadar peninggalan purba ia adalah cermin masa silam yang terus bergetar di dalam ingatan mereka.
“Kalau ada yang bisa membacanya,” tulis Saiful Guci menutup laporannya di Lapau eSPe Kasiah Bundo, “mungkin kita bisa tahu dari mana peradaban Koto Lamo benar-benar bermula.”
