Awan duka belum sepenuhnya sirna dari lingkungan Tarbiyah Islamiyah. Setelah wafatnya Pimpinan Pondok Pesantren MTI Tabek Gadang, Buya Mulyadi, pada Selasa pagi, 9 Desember, pukul 07.00 WIB, kabar kehilangan kembali datang berselang sehari. Rabu siang, 10 Desember 2025, sekitar pukul 12.30 WIB, Buya H. Imam Ranjani Dt. Tunaro, Ketua Pembina Yayasan Tarbiyah Islamiyah MTI Koto Panjang Lampasi, berpulang di kampung halamannya, Koto Panjang Lamposi.
Kepergian dua tokoh ini menambah panjang catatan kehilangan bagi keluarga besar Tarbiyah Islamiyah/PERTI. Buya Imam Ranjani dikenal sebagai figur sentral MTI Koto Panjang. Tegas, berwibawa, namun dekat dengan murid itulah kesan yang kerap muncul ketika namanya disebut. Di bawah kepemimpinannya, MTI Koto Panjang tetap berdiri sebagai lembaga pendidikan bersejarah yang sudah melewati hampir satu abad usia.
Madrasah yang berdiri sejak 1935 ini bukan sekadar institusi belajar. Pada masa revolusi, kompleks MTI pernah menjadi markas Laskar Muslimin Indonesia, tempat konsolidasi dan pertahanan di tengah perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Pendiri madrasah itu, Syekh Haji Mukhtar Angku Lakuang, meyakini salah satu guru di sana sebagai sosok yang prestisius di masanya, sebuah keyakinan yang memperlihatkan kedalaman tradisi spiritual di lingkaran MTI.
Dalam buku 50 Tahun MTI Koto Panjang Lampasi karya Drs. Nurulhuda, disebutkan bahwa tabligh akbar yang digelar pada 1935 bukan sekadar acara keagamaan. Pada masa itu, pemerintah kolonial Belanda mencurigai setiap gerak penguatan pendidikan dan agama pribumi. Karena itu, izin pendirian madrasah yang sudah disetujui Asisten Residen Belanda di Payakumbuh sempat tertahan di tingkat Asisten Demang, dengan alasan yang tak sepenuhnya jelas.
Penahanan izin itu memicu keresahan masyarakat. H. Abdul Latif ulama progresif pada masa tersebut mengusulkan digelarnya tabligh akbar untuk menyambut pendirian madrasah. Dukungan muncul dari Kepala Negeri Lamposi, Djamin Dt. Kondo. Acara itu dihadiri lima ulama besar bersama sang pendiri, Syekh Mukhtar Angku Lakuang. Dalam catatan sejarah MTI, tabligh akbar itu bukan hanya sarana dakwah, tetapi juga semacam “psywar”, unjuk kekuatan moral terhadap pemerintah kolonial.
Deretan ulama terkemuka Minangkabau pernah menyertai fase awal pertumbuhan MTI di antaranya Syekh H. Abdul Wahid As-Shalihi Tabek Gadang, Inyiak Candung, Inyiak Jaho, Syekh H. Abdul Qadim Balubuih, dan H. Rusli Abdul Wahid. Nama-nama ini memperlihatkan posisi MTI Koto Panjang sebagai salah satu simpul penting dalam sejarah Tarbiyah Islamiyah di Sumatra Barat.
Kini, setelah dua tokohnya wafat dalam dua hari beruntun, keluarga besar MTI di berbagai wilayah Sumbar khusunya dan PERTI kembali merapal doa, sembari menata langkah agar warisan keilmuan para guru itu tetap berlanjut.
