Pagi yang masih berkabut di Jorong Padang Japang, Selasa, 9 Desember 2025, berubah muram ketika kabar duka itu berembus.
Buya Mulyadi, S.Ag, Pimpinan Pondok Pesantren MTI Tabek Gadang, wafat pada pukul 07.00 WIB. Ia berpulang pada usia 48 tahun, meninggalkan duka mendalam bagi para santri dan masyarakat yang selama ini mengenalnya sebagai sosok pendidik yang teduh, sabar, dan nyaris tak pernah lelah membina generasi muda.
Buya Mulyadi, yang bermukim di Koto Tuo Mungka, bukan hanya pengasuh pesantren. Ia merupakan cicit dari Syekh Abdul Wahid As-Shalihi, pendiri PERTI dan salah satu tokoh penting pendidikan Islam di Minangkabau. Jejak keilmuan Abdul Wahid yang lahir pada 1878 dan wafat pada 1952 itu membentang panjang: ia berkelana mencari ilmu ke banyak sudut nagari, lalu pulang membawa gagasan pembaruan.
Pada 1906, bertepatan dengan 1324 Hijriah, Abdul Wahid mendirikan sebuah surau di tanah pusaka kaum, di tepi kolam besar yang oleh masyarakat disebut Tabek Gadang. Kelak, surau kecil itu menjadi cikal-bakal MTI Tabek Gadang salah satu dari empat madrasah tertua jaringan Tarbiyah Islamiyah bersama MTI Canduang, MTI Jaho, dan MTI Batu Hampar.
Kabar wafatnya pimpinan MTI Tabek Gadang hari ini menjadi pukulan bagi lembaga yang sepanjang lebih dari satu abad telah melahirkan ulama, dai, dan tokoh masyarakat. Kepergian Buya Mulyadi seperti menandai patahnya salah satu mata rantai penting dalam tradisi pendidikan klasik Minangkabau yang masih bertahan hingga kini.
“Tentunya kami atas nama KMTI Sumbar turut berduka atas berpulangnya pimpinan MTI Tobek Godang, Bapak Mulyadi., S.Ag. Tokoh tersebut tentunya adalah tokoh sentral dari ponpes tertua MTI, banyak lahir ulama, mubalig, dai dan tokoh-tokoh dari hasil didikan beliau, kami berduka atas kehilangan ini,” ujar Maichel Firmansyah, Ketua PW KMTI Sumbar Periode 2024–2025, yang baru saja terpilih sebagai Ketua HMI Cabang Padang.
Di halaman pesantren, para santri terlihat menahan haru. Sejumlah guru melangkah pelan menuju rumah duka. Dari lorong-lorong kampung, pelayat berdatangan, seolah ingin memastikan bahwa tradisi ilmu yang diwariskan Buya Mulyadi tak akan ikut terkubur bersama kepergiannya.
