Sore menjelang magrib pada Senin (21/10/25) di Lapau eSPe Kasiah Bundo kedatangan tamu. Seperti biasa, percakapan kembali menukik tajam ke masa lalu. Di sudut lapau yang sederhana itu, Saiful Guci Dt. Rajo Sampono membuka laptopnya, sementara empat tamu dari Sicincin, Padang Pariaman Joni Efendi Dt. Yang Batuah, Edi, Robert, dan Bobby duduk mengelilinginya. “Membaca dan berdiskusi tentang adat, limbago, dan sejarah Minangkabau ibarat melihat kaca spion,” katanya, “melihat ke belakang untuk bisa maju ke depan.”
Nada bicaranya tenang, tapi sarat arah. Bagi Saiful, diskusi adat tak bisa berjalan tanpa batas waktu yang jelas. “Kalau tidak dibatasi, kita hanya akan berbicara tentang sabana carito, tanpa ada rujukan yang bisa disimpulkan. Tapi jika rentang waktunya ditetapkan, barulah kita bisa membahas carito sabananyo,” tulis Saiful Guci di lamannya.
Bagi Saiful, tambo kitab lisan yang menjadi sumber utama kisah asal-usul Minangkabau adalah wilayah yang luas sekaligus rumit. “Saya punya sekitar lima puluh tambo, sebagian beraksara Arab Melayu. Tapi hulunya selalu ‘Ciba’ catatan tangan raja-raja Minangkabau,” tulisnya kembali. Ia menambahkan bahwa dari dua puluh empat catatan raja yang ia miliki, semuanya berbeda dengan tambo yang dimulai dari puncak Gunung Marapi. “Catatan raja-raja itu justru bermula dari Pulau Langkapuri, di antara Jambi dan Palembang.”
Pernyataan itu menarik. Sebab selama ini, banyak narasi lokal yang menempatkan Gunung Marapi sebagai titik mula peradaban Minangkabau. Namun, Saiful menggeser perspektif itu. Ia berbicara tentang “Zaman Sundaland”, masa ketika daratan Asia Tenggara masih menyatu sekitar 110.000 hingga 12.000 tahun silam. “Kalau mau bicara asal nenek moyang, kita mesti membaca peta kuno. Di sana, Minangkabau tertulis Menancabo,” ungkapnya. Pandangan Saiful ini setidaknya berkenaan dengan beberapa hasil penelitian geologi modern, termasuk kajian Oppenheimer (1998) yang menyebut bahwa kawasan Asia Tenggara memang menjadi pusat migrasi manusia purba pasca zaman es.
Diskusi di lapau itu kemudian beralih ke batu batikam dan menhir, dua artefak arkeologis yang sering disebut dalam narasi tambo. “Kalau bicara batu batikam, kita harus membaca arkeologi dan penyebaran menhir seperti di Nagari Mahek,” tutur Saiful kembali dalam tulisannya, sambil memperlihatkan foto dari arsip digitalnya. “Nagari itu disebut nagari seribu menhir, yang menurut catatan arkeologi sudah ada sejak 250 sebelum Masehi.”
Ia juga menyinggung klaim sebagian masyarakat Kampar yang merasa tidak berasal dari Minangkabau. “Kita harus membuka data arkeologi sebelum berdirinya Candi Muara Takus,”. Saiful lalu menyebut menhir Batu Sandaran Niniak Nan Barampek di Limbanang dan batu pembagian wilayah di Nagari Maek. “Niniak nan Barampek itu terdiri dari Dt. Maharajo Indo, Dt. Siri, Dt. Bandaro, dan Dt. Rajo Dubalai. Mereka berpindah, berkembang, tapi punya akar yang sama.”
Di samping itu, apa yang dilakukan Saiful merupakan bentuk “arkeologi pengetahuan lokal.” Dan tradisi tambo dan catatan lokal seperti “Ciba” adalah wujud historiografi rakyat, sebuah cara masyarakat menjaga identitasnya tanpa bergantung pada teks kolonial. Pendekatan Saiful penting, karena ia mencoba menyambungkan lapisan mitos dengan data empiris seperti menhir, peta kuno, dan arsip kolonial. Ini sejalan dengan metode triangulasi sejarah modern.
Diskusi di Lapau Kasiah Bundo malam itu juga menyinggung struktur pemerintahan kolonial Belanda. Saiful membuka dokumen staatsblaad Nederlandsch-Indie dari tahun 1838–1947 yang ia simpan di laptopnya. “Dokumen yang menjadi dasar penetapan hari jadi pemerintahan Kabupaten Lima Puluh Kota,” tulisnya. Dan tak lupa ada besluit nomor 1 tahun 1841 tentang pembentukan sembilan afdeeling di Sumatera’s Westkust.
Ia bahkan menambahkan, “Kalau bicara pemerintahan zaman Belanda, kita mesti baca juga Regerings Almanak, di situ lengkap nama, tempat, dan tahun pejabat Belanda memerintah Minangkabau.
Namun, bagi Saiful, ada dua arah diskusi besar yang selalu menjadi muara. “Kalau merujuk pada referensi kolonial, ujungnya Den Haag. Tapi kalau memakai tambo surau, muaranya ainul yaqin, mata keyakinan,” Ia kemudian menambahkan, “Keyakinan itu bukan kepercayaan buta. Tapi cara melihat masa lalu dengan hati dan mata yang sadar.”
Menjelang pukul sepuluh malam, pembicaraan itu berhenti sementara. “Akan datang lagi,” kata Saiful menutup laptopnya, “dengan membawa flashdisk dan rentang waktu yang jelas.” Ia menunjuk secangkir minuman berwarna ungu kebiruan di meja. “Kita lanjutkan nanti di pojok lapau ini, sambil menikmati Bunga Telang Madu.”
Bagi sebagian orang, lapau hanya tempat berkumpul dan bercanda. Tapi di tangan orang-orang seperti Saiful Guci Dt. Rajo Sampono, lapau menjelma ruang arsip tempat di mana sejarah Minangkabau tidak hanya diingat, tapi juga terus diperiksa ulang. Dari cangkir teh yang menua dan layar laptop yang bersinar redup, peradaban yang disebut Menancabo itu kembali menemukan nadinya.