Di antara deretan nama besar ulama asal Minangkabau, nama Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi tetap berdiri tegak sebagai salah satu figur paling berpengaruh dalam sejarah keilmuan Islam di Nusantara. Bersama nama-nama seperti Syekh Isma’il Al-Khalidi Al-Minangkabawi Al-Makki yang juga merupakan senior nya itu, ia menandai era di mana keilmuan Islam Nusantara berakar kuat di tanah Hijaz, membawa pengaruh besar bagi corak pemikiran Islam di tanah air.
Namun, di balik kebesaran namanya, ada satu teka-teki yang belum terpecahkan hingga hari ini: tidak ada satu pun foto asli Syekh Ahmad Khatib yang dapat dipastikan keberadaannya. Ketika namanya diketik di mesin pencari, yang justru muncul adalah potret Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, ulama besar dari Canduang, pendiri PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah). Kekeliruan ini bukan hanya terjadi di media sosial, dan media massa lainnya, akan tetapi juga sempat muncul di forum keilmuan resmi.
Hal itu terjadi dan mencuat kembali pada Mei 2025 lalu. Dalam kegiatan Bedah Buku Koleksi Perpustakaan Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi di Padang, yang dihadiri sejumlah tokoh seperti Prof. Duski Samad, Khairul Jasmi, M. Nasir, MA, dan Dr. Yasrul Huda, terpampang sebuah spanduk besar dengan foto Syekh Sulaiman Ar-Rasuli yang jelas-jelas itu bukan Syekh Ahmad Khatib. “Sudah saya sampaikan di awal acara, mau bagaimana lagi. Foto sudah terpasang. Ya sekarang, untuk ke depan saja lagi,” ujar Khairul Jasmi, penulis senior sekaligus saksi dari kekeliruan itu.
Padahal, dalam catatan sejarah Islam di Minangkabau, Syekh Ahmad Khatib bukan hanya ulama besar, tetapi juga sufi yang mengembangkan Tarekat Khalwatiyah, sebagaimana disebutkan oleh Syekh Harun Toboh Pariaman. Ia dikenal sebagai seorang ulama bermazhab Syafi’i yang teguh, bahkan dijuluki sebagai tiang tengah Mazhab Syafi’i di kawasan Melayu pada awal abad ke-20. Kritiknya terhadap sebagian amalan Tarekat Naqsyabandiyah dan paham Martabat Tujuh bukanlah bentuk penolakan terhadap tasawuf, melainkan bagian dari dinamika intelektual yang hidup di dunia Islam saat itu.
Dalam karya-karyanya, Syekh Ahmad Khatib meneguhkan tradisi fiqih Syafi’iyah yang kuat. Praktik keagamaan seperti shalat tarawih 20 rakaat, puasa dengan rukyah, dan zikir berjamaah setelah salat fardhu menjadi bagian dari warisan keilmuan yang ia tegakkan. Ia juga teguh memegang prinsip akidah Asy’ari dan Maturidi, yang dikenal luas sebagai representasi Ahlussunnah wal Jama’ah di dunia Islam. Di Minangkabau, tradisi ini kemudian populer dengan sebutan Pengajian Sifat Dua Puluh atau Akidah Lima Puluh.
Ketekunan dan kedalaman ilmunya membuatnya disegani di Makkah. Ia bukan penceramah populer yang berbicara lepas, melainkan guru besar yang mengajarkan kitab-kitab turats dengan sistematis, membimbing murid-muridnya untuk memahami Al-Qur’an dan Hadis melalui disiplin klasik. Namun, di balik kemasyhurannya, sosoknya justru tak memiliki penanda visual yang tersisa.
Kekeliruan publik terhadap wajah Ahmad Khatib mulai dianggap serius oleh kalangan akademisi dan pemerhati sejarah Islam hari ini. Surya Suryadi, pakar filologi dan ahli pernaskahan Nusantara dari Leiden University misalnya, menyebut bahwa meski Syekh Ahmad Khatib hidup di masa ketika teknologi fotografi sudah cukup maju, tidak pernah ditemukan foto dirinya. “Memang susah benar mencari foto orang Minang besar yang satu ini. Entah apakah sebabnya? Padahal masa dia sedang populer di Tanah Hejaz sana, teknologi kodak sudah lumayan hebat juga. Malah Snouck Hurgronje yang datang ke Mekah di awal abad ke-20 mendengar kebesaran namanya, tapi tak sempat jumpa dengannya. Kalau sempat, tentu kita bisa lihat fotonya hari ini di Leiden University Library.” ujar Surya.
Penelusuran terhadap keturunan Syekh Ahmad Khatib pun tak membuahkan hasil. Dalam tulisan Khairul Jasmi di Harian Singgalang, ayahanda J.S Khairen itu pernah berkomunikasi dengan Syekh Khalid, salah satu keturunan Ahmad Khatib yang kini tinggal di Arab Saudi. Khalid menjelaskan, “Ibuku adalah Nadia. Ayahnya adalah Fouad. Kakekku itu, putra Abdul Hamid, putra Sheikh Amed Alkhatib.” Ia menegaskan kepada Khairul Jasmi, “Kami tidak memiliki foto Ahmed Al Khatib, tetapi kami memiliki foto puteranya Abdul Hamid.”
Pernyataan itu sekaligus mempertegas kembali, bahwa foto Syekh Ahmad Khatib belum pernah ditemukan hingga kini, baik di kalangan keluarga, murid, maupun lembaga arsip sejarah Islam. Kekeliruan yang berulang dalam penyebutan foto dirinya dengan potret Inyiak Canduang, menurut para pengkaji, berpotensi menyesatkan sejarah jika dibiarkan tanpa klarifikasi.
Sebuah foto, mungkin tampak sepele. Namun, dalam konteks sejarah, ia bisa menjadi sumber rujukan yang membentuk persepsi publik. Dalam kasus ini, selembar foto yang salah tempel bukan hanya kekeliruan administratif, tetapi bisa mengaburkan jejak salah satu ulama terbesar yang pernah lahir dari bumi Minangkabau. Hingga kini, misteri wajah Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi masih tersimpan rapi dalam kabut sejarah, tak tersentuh kamera, namun abadi dalam ingatan keilmuan umat.