Dalam sistem sosial Minangkabau, garis keturunan bukan mengalir dari ayah, melainkan dari ibu. Inilah fondasi dari sistem matrilineal yang menjadi nadi kebudayaan Minang, sebuah tatanan yang tidak hanya menentukan silsilah, tetapi juga menata ulang relasi kuasa dan tanggung jawab dalam keluarga besar. Dan selanjutnya, di tengah struktur ini, figur mamak yang oleh adat disebut ninik mamak menjadi poros keseimbangan antara kekerabatan, kepemimpinan, dan moralitas adat.
Dalam buku Peranan Mamak Terhadap Kemenakan Dalam Kebudayaan Minangkabau Masa Kini (Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Sumatra Barat, 1996), dijelaskan bahwa ninik mamak adalah “Andiko dari kaumnya (yang memerintah), dengan kata lain raja dari kemenakannya, yang berfungsi sebagai kepala pemerintahan, pemimpin dan menjadi hakim dalam perdamaian di dalam kaumnya.” Ia bukan sekadar penjaga silsilah, tetapi juga penata moral komunitas. Dalam ranah adat, mamak adalah wajah yang menengahi antara keluarga dan dunia luar, pemimpin yang mengemban peran ganda: jaksa bagi kaumnya dan pembela ketika kemenakannya bersentuhan dengan pihak lain.
Kedudukan seorang ninik mamak dalam struktur sosial ibarat “kayu gadang, ureknyo tampek baselo, dahannyo tampek bagantuang, batangnyo tampek basanda,” artinya pemimpin yang memberi teduh, tempat bersandar, dan ruang bernaung bagi anak kemenakan. Ungkapan klasik ini menggambarkan konsep paternalistik yang berakar kuat dalam sistem matrilineal Minangkabau sebuah paradoks sosial yang justru memperkaya khazanah antropologisnya.
Namun dalam konteks modern, jabatan adat itu tidak bisa berhenti pada simbol atau romantisme budaya. Ninik mamak dituntut menyesuaikan diri dengan zaman, “mengintrospeksi diri mencari kelemahan dan jangan sekali-kali merasa bosan menambah ilmu pengetahuan,” sebagaimana ditegaskan dalam buku tersebut. Sebab dengan memperluas wawasan dan mengasah kecakapan sosial, ninik mamak akan tetap relevan dalam membina generasi muda yang kini hidup dalam pusaran modernitas dan birokrasi negara.
Fatwa adat “anak dipangku, kemenakan dibimbiang” menjadi metafora yang melampaui bentuk nasihat moral: ia adalah kontrak sosial yang menegaskan tanggung jawab kolektif dalam menjaga harmoni keluarga dan komunitas. Maka, menjadi mamak dalam kaum bukan sekadar pewaris gelar, tetapi penjaga nilai, penafsir moral, dan perantara antara masa lalu dan masa kini antara akar dan arah.
(Sumber: “Peranan Mamak Terhadap Kemenakan Dalam Kebudayaan Minangkabau Masa Kini,” Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Sumatra Barat, 1996)
