Sebelum 1821: Nadi Pasar Pajacombo dan Diplomasi Dagang Minangkabau Lama

Di dataran tinggi Minangkabau, lama sebelum kolonialisme Belanda mencapai pedalaman pada 1821, alur perdagangan sudah berdenyut lewat jalan setapak yang menghubungkan lembah-lembah subur dengan pantai-pantai jauh di seberang bukit. Orang-orang Minang mengangkut hasil bumi dengan pikulan atau kuda beban, menembus rimba dan batuan cadas, menyusuri jalur niaga yang telah terbentuk oleh kebutuhan dan naluri dagang yang kuat.

Di samping itu, dalam catatan Feni Efendi, merujuk Christine Dobbin, “ada empat lembah yang subur di pedalaman dataran tinggi Minangkabau… lembah di Luhak Lima Puluh yang cukup basah, lembah Luhak Agam dan Tanah Datar yang kering, dan lembah di sekitar Danau Singkarak yang juga cukup basah.”

Ke timur, pedagang dari Pajacombo, Taram, dan nagari sekitarnya memilih jalur menuju Pangkalan Kapeh sebelum menembus Buluh Kasok, turun perlahan ke aliran Batang Subayang hingga bertemu Batang Kampar Kiri. Sementara itu, arus dari Luhak Lima Puluh diarahkan ke Pangkalan Koto Baru gerbang dagang yang menghubungkan pedalaman Minang dengan pantai timur Sumatra. “Lama perjalanan ke Pangkalan Koto Baru sekitar 10 hari,” tulis Feni, melewati Sarilamak dan Mungka yang kala itu hanya berupa titik-titik persinggahan bagi pedagang yang letih.

Di Batu Putih, tidak jauh dari Jorong Koto Tinggi Kubang Balambak, jejak kolonial bahkan lebih tua dari ingatan resmi. Siska Andes Mulia, mantan guru SMP di sana, berkisah bahwa makam dan sisa bangunan keluarga Belanda masih dapat dikenali. Beberapa warga, seperti Alil Muharni, dan Siska yang mengaku bahwa banyak masyarakat melihat “penampakan noni-noni Belanda” cerita yang beredar pelan, seperti bisik-bisik sejarah yang enggan hilang.

Dari Pangkalan Koto Baru, perahu-perahu kecil menyusuri Batang Kampar Kanan menuju Senapelan, pusat pasar yang kini bernama Pekanbaru. Dari sana, perjalanan darat selama empat hari berakhir di Pelabuhan Sungai Siak pintu menuju Tumasik dan Malaka yang ditempuh sekitar sepekan. Meski lebih jauh ketimbang jalur barat, harga jual di wilayah bekas kekuasaan Portugis dan Inggris menggiurkan bagi pedagang Minang.

Feni menggarisbawahi bahwa perdagangan dari Luhak Lima Puluh ke pantai timur “telah dilakukan jauh sebelum Portugis masuk ke Malaka (1511).” Bukti lain hadir lewat catatan kunjungan Thomas Diaz ke Pagaruyung pada 1684, mencari celah kerja sama niaga.

Dan pada abad berikutnya, gelombang saudagar Minang semakin deras. Tiga bersaudara dari Pajacombo Nakhoda Bayan, Nakhoda Intan, dan Nakhoda Kecil menyeberangi Selat Melaka dan kemudian wafat di Pulau Pinang. Mereka dikenang sebagai pelopor pemukiman Minang di semenanjung itu, simbol betapa urat dagang Pajacombo telah tumbuh jauh sebelum garis batas bangsa ditentukan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *