Syekh Muhammad Sa’in Dt. Kondo Nan Bajolai: Dari Batu Labi Menuju Jalan Sunyi Tasawuf

Di Jorong Batu Labi, puluhan tahun lalu, seorang anak gembala bernama Sa’in kecil menghabiskan masa kanak-kanaknya bermain di tepi sawah pada siang hari, dan malamnya berhalaqah di surau milik ayahnya, Muhammad Yusuf, seorang malin yang disegani.

Dari lingkaran kecil pengajian tradisional itulah, perjalanan panjang seorang alim bernama Syekh Muhammad Sa’in Dt. Kondo Nan Bajolai dimulai. Orang-orang Mungo kelak mengenalnya sebagai Buya Kondo, ulama yang menempuh jalan sunyi tarekat hingga menjadi mursyid Naqsyabandiyah Khalidiyah di ujung abad ke-20.

Nagari Mungo di Kecamatan Luak, sekitar 11 kilometer dari Payakumbuh, sejak dulu dikenal sebagai tanah para pelajar agama. Dari sinilah banyak urang siak penuntut ilmu menyebar ke berbagai penjuru Luhak Limo Puluah. Di kampung ini pula, sekitar tahun 1918, Sa’in lahir. Kehidupan awalnya sederhana. Di usia dua belas tahun ia menggembala kerbau, sementara malamnya ia menelaah kitab-kitab matan bersama ayahnya dengan metode halaqah yang ketat. Apria Putra, penulis yang menelusuri jejak para ulama Luak Nan Bungsu itu dalam bukunya menyebut masa kecil Buya Kondo sebagai “sebuah persilangan antara laku rakyat dan disiplin ilmu agama.” Dari sana, benih seorang pengembara ilmu mulai tumbuh. ”Masa kecil Buya Kondo dijalani seperti anak-anak lain seusianya. Pada usia 12 tahun, beliau menjalani kehidupan sebagai pengembala kerbau. Ini dilakukannya di siang hari, sedangkan malamnya beliau mengaji dasar-dasar ilmu agama dengan belajar kitab-kitab matan dengan ayahnya sesuai dengan gaya pengajian tradisional berhalaqah. Dari sinilah Buya Kondo memulai petualangannya dalam menuntut ilmu,” tulisnya.

Pada umur lima belas, Sa’in memutuskan berangkat ke Surau Batu Hampar, sebuah pusat pendidikan Islam yang harum namanya di Minangkabau. Surau itu didirikan oleh Maulana Syekh Abdurrahman Batu Hampar, ulama besar abad ke-19. Di sana, Sa’in belajar tasawuf, akidah, nahwu, dan sharaf. Guru utamanya besar kemungkinan waktu itu adalah Syekh Arifin, cucu dari sang pendiri surau. Dari Batu Hampar, ia melanjutkan perjalanan ke Sicincin, berguru kepada Syekh Jalaluddin, yang dikenal dengan gelar Angku Karuang, ahli balaghah dan ushul yang berpengaruh. Kepada Angku Karuang itulah Sa’in menempuh jalan nalar.

Namun perjalanan ilmunya tak berhenti di sana. Dari Sicincin ia melanjutkan ke Taram, menemui Syekh Adimin Arradji, ulama yang dikenal luas karena kedalaman ilmunya dan keluasan wawasannya terhadap murid. Di Taram, Buya Kondo tak hanya belajar, tapi juga dipercaya mengajar. Ia muda, tapi penguasaannya atas bahasa Arab dan ilmu alat menjadikannya guru muda yang cepat disegani.

Ketika berusia dua puluh tahun, ia menerima ijazah resmi dari Syekh Adimin, tanda bahwa ilmunya telah paripurna dan ia berhak menyebarkannya kepada masyarakat. Tahun itu 1938, tahun yang mencatat perubahan arah hidupnya.

Setelah kembali ke Mungo, Sa’in muda belum langsung membuka surau. Ia lebih dulu berdiskusi dengan para alim dan tuanku setempat mengenai pelbagai masalah agama. Salah satu topik yang mengemuka waktu itu adalah soal tarekat dan suluk perdebatan klasik antara “ulama muda” dan “ulama tua” di Minangkabau semasa itu.

Ulama muda membawa semangat pembaruan, menolak mazhab dan amalan tarekat, sedang ulama tua teguh pada Mazhab Syafi’i dan jalan tasawuf. Meski berasal dari didikan ulama tua, Buya Kondo kala itu justru berada di kubu seberang. Ia menentang tarekat, bahkan berselisih dengan ayahnya sendiri. Muhammad Yusuf yang saleh itu sampai melapor kepada Oyah Batuhampar, guru anaknya itu agar menasihati Sa’in yang dianggap terlalu berani membantah jalan para sufi.

Tuan Syekh memanggilnya ke Batu Hampar. Kepada murid mudanya itu, ia menyerahkan sebuah kitab dan berpesan agar mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Konon kitab itu adalah Ihya Ulumiddin karya Imam al-Ghazali kitab yang menuntun manusia bukan hanya memahami hukum, tapi juga menembus makna batin di balik amal. Sa’in kembali ke Mungo membawa kitab itu, membacanya setiap malam. Seperti orang yang menemukan air di padang kering, ia perlahan menyadari kekeliruan pandangannya.

Jika dulu ia menolak, kini hatinya justru rindu pada hakikat yang selama ini ia tolak. “Dimana engkau membatalkan tarekat, disanalah engkau akan memasuki tarekat,” begitu pesan Tuan Syekh Batuhampar atau yang kebihdikenal masyarakat Batu Hampar dengan panggilan Oyah, kepadanya ketika ia datang kembali memohon bimbingan.

Ia pulang, meminta maaf kepada ayahnya, dan berniat menempuh jalan suluk. Sang ayah menyerahkannya kepada Syekh Haji Mahmud Abdullah, ulama asal Tarantang yang dikenal dengan sebutan Beliau Tarantang, pengasuh surau di Pincuran Tinggi, Harau.

Di bawah bimbingan Syekh Mahmud, Buya Kondo menempuh suluk selama tiga kali khatam, 120 hari penuh khalwat, zikir, dan disiplin rohani. Setiap sepuluh hari, satu pelajaran zikir baru diajarkan, hingga genap dua belas tingkatan. Setelah menyelesaikan khalwat itu, ia menerima ijazah Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, pertanda telah mencapai tingkat mursyid dan memiliki otoritas untuk mengajarkan ilmu menghampiri Tuhan. Tahun itu 1942, di tengah gemuruh perang dan penjajahan, seorang pengembara muda dari Batu Labi justru menemukan kedamaian di jalan batin.

Sejak saat itu, Buya Kondo menjadi ulama yang berdiri di antara dua dunia: syariat dan hakikat. Keilmuannya kian lengkap, dua sayap itu membuatnya terbang tinggi dalam pengabdian. Ia tak menolak rasionalitas ilmu fikih, tapi juga tak menafikan kedalaman rasa tasawuf. Maka, madrasahnya kelak menjadi tempat belajar yang ramai didatangi urang siak dari berbagai daerah. Surau di Batu Labi berubah menjadi pusat pendidikan, tapi tetap dengan tradisi halaqah duduk melingkar, berdiskusi, dan mengaji kitab kuning tanpa jarak antara guru dan murid.

Dalam catatan murid-muridnya, tahun 1938 menjadi titik awal pengajarannya, meski bentuk sekolah baru resmi berdiri pada 1952, ketika suraunya bertransformasi menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI). Dua tahun kemudian, pada 1954, pelajaran suluk mulai diajarkan secara teratur.

Para murid datang dari berbagai penjuru: Payakumbuh, Harau, bahkan dari lintas Luhak. Di bawah beliau, murid-murid belajar tidak hanya hukum, tapi juga adab bagaimana menundukkan ego sebelum memahami ayat.

Ketenaran Buya Kondo membuat Batu Labi kembali hidup. Dari suraunya yang sederhana, kabar ajarannya menyebar hingga ke pelosok. Tapi beliau tetap hidup bersahaja. Dalam tiap ceramahnya, ia sering mengingatkan: “Ilmu itu bukan untuk berdebat, tapi untuk mendekat.” Kalimat itu menjadi mantra yang menempel di benak banyak muridnya.

Para tetua Mungo masih mengenang sosoknya dengan hormat. Buya Kondo dikenal lemah lembut dalam bertutur, namun tegas dalam prinsip. Ia bisa berbicara lembut soal cinta Tuhan, tapi juga keras ketika melihat umat berselisih karena perkara sepele. Bagi masyarakat Mungo, beliau bukan sekadar ulama; ia penuntun yang menjembatani tradisi lama dengan semangat zaman baru.

Kini, surau peninggalannya di Mungo masih berdiri, meski sebagian dindingnya mulai dimakan usia. Di ruang dalam, beberapa kitab tua peninggalan beliau tersimpan dalam peti kayu. Di antaranya ada satu yang kulitnya sudah mengelupas Ihya Ulumiddin yang dulu diberikan oleh Tuan Syekh Batuhampar. Di halaman pertama kitab itu, ada tulisan tangan yang masih bisa dibaca samar: ”Dimana engkau membatalkan tarekat, disanalah engkau akan memasuki tarekat.” Kalimat yang menandai titik balik hidup seorang anak gembala yang menjelma menjadi mursyid besar.

Waktu berjalan, dan generasi berganti. Tapi di Mungo, nama Buya Kondo* tetap disebut dengan penuh takzim. Dalam setiap suluk yang digelar di Surau Pincuran Tinggi, dalam setiap zikir malam yang bergema di madrasah tua itu, orang-orang masih mengingat sosoknya. Mereka percaya, dari Batu Labi hingga Tarantang, dari gembala kecil hingga mursyid besar, perjalanan Buya Kondo adalah cermin: bahwa ilmu sejati tidak pernah berhenti pada pengetahuan, tapi berakhir pada kerendahan hati.

Dan di bawah langit Mungo yang tenang, kabut Gunung Sago masih turun perlahan. Seperti doa yang tak pernah putus dari murid-muridnya, mengiringi jejak seorang alim yang menemukan Tuhan di antara sunyi dan ilmu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *