Syekh Muhammad Yasin Al-Fadani Ulama Berdarah Minang yang Dikenal Sebagai Musnid ad-Dunya

Di antara sekian banyak nama ulama Nusantara yang mengukir jejak keilmuan di Tanah Suci, satu nama berdiri dengan reputasi yang sukar ditandingi: Syekh Muhammad Yasin Al-Fadani. Dalam lanskap intelektual abad ke-20, para pengkaji hadis mengenal satu gelar yang hanya disematkan kepada sosok tertentu Musnid ad-Dunya, gudang sanad dunia. Gelar itu bukan slogan, melainkan representasi otoritas keilmuan yang lahir dari kombinasi kedalaman hafalan, disiplinnya penelitian mutawatir, dan keluasan jejaring ulama dari Timur hingga Barat.

Lahir dari garis ulama Minangkabau, darah keilmuan itu mengalir tanpa jeda. Ayahnya, Syekh Muhammad Isa Al-Fadani, merupakan rujukan intelektual di masanya. Ibunya, Maimunah binti Abdullah Fadani, berasal dari keluarga yang juga menempatkan ilmu di posisi tertinggi. Bahkan di lingkar kerabat dekat, ketokohan tak berhenti: pamannya, Syekh Mahmud Tuangku Hitam, adalah murid Sayyid Muhammad Amin Ibn Ahmad Ridhwan Al-Madani. Dari lingkungan keluarga semacam inilah Syekh Yasin tumbuh di rumah tempat kitab bukan sekadar bacaan, tapi atmosfer.

Nama Syekh Yasin melesat di kalangan penuntut ilmu asal Nusantara di Makkah. Di serambi Masjidil Haram, para pelajar dari Jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, hingga Patani antre meminta ijazah sanad hadits sebuah sertifikasi transmisi keilmuan yang dalam tradisi ulum al-hadits hanya diberikan oleh mereka yang benar-benar menguasainya. Salah satu muridnya yang kelak sohor di kancah akademik dan pemerintahan adalah Prof. Dr. Al-Habib Said Agil Husin Al-Munawwar, MA, mantan Menteri Agama pada era Presiden Megawati Soekarnoputri. Nama lain muncul dari Tanah Betawi: K.H. Ahmad Marwazie Al-Batawie, kini menjadi penasihat sekaligus pengajar di Zawiyah Ar-Raudhah Ihsan Foundation. Pengaruh Syekh Yasin kemudian menyebar bak aliran air dari sumber mata yang tak kering ke Maroko, Mesir, Suriah, Lebanon, Sudan, Saudi Arabia, Irak, Turki, India, dan tentu saja Nusantara.

Produksi intelektualnya mengesankan bahkan bila dilihat dari sudut pandang akademik. Lebih dari 90 karya lahir dari tangannya mencakup tafsir, hadits, musthalah al-hadits, fikih, ushul fikih, logika, nahwu, dan cabang-cabang keilmuan Islam lainnya. Namun fokus yang paling menegaskan posisinya adalah tulisannya tentang sanad; bidang yang menuntut penelitian filologis, pembacaan biografi perawi, dan kemampuan menelusuri rantai transmisi keilmuan lintas generasi. Di medan itu, otoritasnya tak terbantahkan.

Tetapi di balik reputasi global, Syekh Yasin dikenal sederhana. Musthafa bin Idrus Alkhirid salah satu ulama yang dekat dengan beliau mengenang satu momen yang menggambarkan esensi itu. Suatu sore, setelah Ashar, Syekh Yasin mengajar anak-anak kecil membaca Al-Qur’an. Ada yang bertanya, dengan nada setengah bingung, “Ya Syaikh mengapa engkau melebihkan waktumu setelah ashar ini ngajari anak-anak yang seperti ini, biarkan kami atau murid-murid kami, mending antum ngajarkan yang lebih manfaat sebab murid antum ini adalah sudah para Kiyai, kiyai.” Syekh Yasin tersenyum dan menjawab, “Saya mengajarkan mereka ini Al-Qur’an sebab ingin masuk ke dalam golongan yang disabdakan Nabi Muhammad SAW: ‘خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ اْلقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ’. Ana ingin masuk ke dalam golongan orang-orang baik di mata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.”

Dalam narasi lain, K.H. Muhammad Abrar Dahlan merekam pengalaman yang terasa tempo-esque sepotong situasi keseharian yang menyisakan keheranan. Ia pernah diminta membuatkan teh dan syisa. Sesudah itu, Syekh Yasin keluar menuju Masjidil Haram. Ketika kembali, beliau membawa tumpukan kitab jelas baru mengajar dari masjid. Abrar Dahlan hanya bisa heran: apa fungsi ritual pembuatan teh dan syisa di awal bila ternyata beliau pergi mengajar? Jawabannya tak pernah diberikan kadang, sebagian perilaku kiai hanya bisa dipahami dalam logika batin yang tak terucap.

Abdurrahman bin Kamel Assegaf memberi dimensi lain: ia menyebut Syekh Yasin sebagai ulama multi-talenta dengan karya di seluruh cabang ilmu agama. Dalam catatannya, Syekh Yasin juga masih memiliki garis keturunan Sultan Palembang.

Ada kisah lain yang tetap beredar di kalangan santri. Ketika K.H. Abdul Hamid di Jakarta tengah mengajar fikih bab diyat, beliau menemui satu masalah sulit. Kajian terhenti karena ia tidak menemukan solusi. Malam itu, datang sepucuk surat dari Makkah. Isinya: jawaban dari pertanyaan yang tidak pernah diucapkan kepada siapapun. Di situlah reputasi Syekh Yasin sebagai sosok berilmu lahir batin menemukan konteksnya mampu membaca persoalan bahkan sebelum ditanyakan.

Dalam biografi para ulama, ada yang dikenang karena pemikiran, ada yang dikenang karena karya, dan ada yang dikenang karena perbuatan yang memberi kesan spiritual pada para murid. Syekh Muhammad Yasin Al-Fadani berada di antara semuanya. Ia bukan hanya Musnid ad-Dunya, bukan hanya gudang sanad, bukan hanya pengarang puluhan buku. Ia adalah simpul di mana ilmu, amal, dan ketawadhuan saling bertemu dan dari titik pertemuan itulah reputasinya tidak berhenti mengalir.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *